Oleh: Losse Bouvier
Jurgen
Habermas menempatkan pribadi yang rasional sebagai syarat mendasar dalam relasi
antaranggota masyarakat. Dalam pandangan Habermas, kekuasaan yang dirasionalkan
hanya mungkin dilahirkan oleh pribadi rasional atau publik yang kritis.
Kekuasaan yang dirasionalkan itu yang lahir sebagai deliberasi di antara
individu-individu politis hanya mungkin dilakukan dalam suatu wilayah sosial
yang bebas dari sensor dan dominasi. Habermas melihat diskusi publik yang
kritis itu hanya mungkin dalam wilayah sosial yang dikenal sebagai ruang publik
(public sphere), yakni semua wilayah kehidupan sosial kita yang
memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Ide ruang publik Habermas itu
terancam disintegrasi. Kondisi pokok yang menyebabkan ruang publik itu terancam
disintegrasi adalah ketika ruang publik yang seharusnya menjadi jembatan antara
kebutuhan-kebutuhan kelompok masyarakat dan negara justru menjadi sebuah medan
persaingan kepentingan-kepentingan organisasi-organisasi dalam bentuk
konfrontasi panas dan kasar. Konflik-konflik yang dulu bisa dilokalisasi dalam
wilayah privat sekarang justru masuk ke dalam ruang publik. Karena itu, dalam
ruang publik dewasa ini yang terjadi bukan komunikasi bebas dominasi yang
secara ideal dibayangkan Habermas, melainkan justru komunikasi padat distorsi,
ruang publik yang kehilangan fungsi kritisnya. (F. Budi Hardiman, 2009a)
Gambar
ruang publik yang terakhir inilah menjadi problem utama publik Indonesia. Meski
berbagai ranah publik seperti kebebasan politik, keterbukaan media dan
teknologi informasi, kebebasan pasar sudah relatif terbebas dari rezim otoriter,
ruang publik ideal masih jauh terwujudnya dalam Republik Indonesia.
Jika ruang
publik mengandaikan sebua proses deliberasi di antara pribadi-pribadi yang
rasional dan kritis untuk menghasilkan keonsensus-konsensus bersama, maka pada
titik inilah persoalan utama ruang publik itu mencuat. Ambivalensi selalu mewarnai
ranah publik Indonesia karena eksistensi publik justru teralienasi dalam ruang
publik yang ada, seperti oleh proses politik, media informasi, atau pun di
dalam pasar.
Meski
publik menjadi poros pusat dalam proses politik pasca reformasi sekarang ini
seperti pada pemilu dan pilkada langsung, namun pada kenyataannya demokratisasi
yang berlangsung adalah proses yang seolah-olah demokratis; masyarakat
kebanyakan hanya berperan sebagai figuran semata-mata. (Niels Mulder, 2003). Apa
yang absen dalam proses politik dan sirkulasi kekuasaan pada momentum-momentum politik
adalah peran aktif para masyarakat di dalam kehidupan bernegara. Masyarakat memang
muncul di dalam pemilihan umum, ikut pawai kampanye partai politik, atau
mencoblos gambar kandidat mereka, namun suara mereka raib di dalam jangka waktu
di antara dua pemilihan umum. Politik memusatkan dirinya terutama pada
institusi-institusi negara yang sudah mapan yang diduduki dan dipakai oleh para
penguasa sebagai alat. Institusi-institusi ini memainkan peran untuk
melegitimasikan tujuan-tujuan bersama dan menyelesaikan konflik. Memang ada
parlemen yang seharusnya mewakili rakyat, namun partai-partai politik
mendominasi parlemen dan mengarah pada perebuatan kekuasaan. Ruang untuk para
warga negara di dalam politik sesungguhnya sangat sedikit dan sempit. Dalam
gambaran lazim itu, politik adalah bisnis para elit. Publik memang merupakan
sumber terpenting legitimasi kekuasaan, namun mereka juga dapat dimanipulasi
karena dipolitisasi dan bukan spesialis-spesialis dalam bidang politik. Politik
yang lazim ini tidak memberdayakan, melainkan memperdaya publik. (F. Budi
Hardiman, 2009b)
Setiap
momentum pemilu dan pilkada, politik memperlihatkan diri pada baliho-baliho,
pada slogan-slogan yang gencar dikoar-koarkan, kampanye-kampanye, akan tetapi
semua tahu bahwa publik lebih sering kali luput dari persoalan politik yang
menyangkut kehidupan keseharian mereka kecuali dalam momen-momen politik
tersebut. Tak ayal, pemilu dan pilkada lebih seperti komedi absurd dan
memalukan.
Politik
yang melulu dimaknai secara formal dan prosudural, sebagaimana telah kita lihat
selama ini, hanya melihat politik sebagai momen-momen priodik. Padahal,
momen-momen priodik seperti pemilu dan pilkada harus dimaknai sebagai “hasil
pemakaian publik atas hak-hak komunikatif” yang berlangsung terus menerus di
“ruang antara” pemilihan satu ke pemilihan berikutnya. (F. Budi Hardiman,
2009b). Pemilihan umum memang lokus para para warga negara menentukan diri
mereka, namun yang harus disadari adalah pemilihan bukanlah lokus satu-satunya.
Justru yang lebih substansial adalah lokus-lokus yang berada di “ruang antara”
tersebut, karena di ruang tersebut, publik sesungguhnya menemukan dan
menentukan dirinya. Persoalannya, lembaga-lembaga politik terutama partai hanya
melihat publik sebagai kuantitas massa yang potensial secara kuantitas sehingga
proses deliberasi di “ruang antara” kemudian diabaikan. Politik hanya dimaknai
sebagai kuasa (power) dan bukan pemberdayaan (empowering)
Akibatnya, dunia politik muncul seperti yang dikatakan Hans Magnus Ezensberger,
“Menyerupai bengkel-bengkel di mana para teknisi yang khawatir membungkuk ke
arah motor-motor yang rusak, dan menggaruk-menggaruk kepalanya karena tidak
tahu bagaimana caranya menghidupkan kembali mesinnya.” (Geoff Mulgan, 1995)
Penyingkiran
publik yang rasional dan kritis parahnya juga terjadi di ruang publik yang
kolonisasinya paling masif, yakni industri informasi. Kita melihat bahwa bukan
suatu kebetulan bahwa era politik dan demokrasi bersentuhan dengan era
industrialisasi informasi. Posisinya sentral karena kemampuannya membawa
populasi massa ke arah politik melalui hubungan dan partisipasi seketika,
penerimaan, dan penyebaran pandangan-pandangan.
Informasi
merupakan suatu bahan mentah bagi fakta dan fantasi, dan telah begitu
diindustrialisasi sehingga aslinya nyaris tidak tampak. Informasi dapat dibuat,
dipilih, digandakan, dan disebarkan nyaris tanpa batas. Informasi dapat dibuat
seolah-olah tidak berasal dari mana pun. Dibuat untuk kebutuhan-kebutuhan
kognitif, dan dirangkai bersama sebagai salinan. Informasi hanya membutuhkan
titik-titik referensi minimal. Hubungan antara informasi dan suatu realitas
objektif lebih renggang. Akibatnya, penerima hanya mempunyai sedikit dasar
untuk mengadakan penilaian, selain daripada otoritas yang diterima atau pun
pengalaman yang terbatas.
Dalam
dunia semacam itu tidak mengherankan bahwa fiksi bisa lebih unggul; fantasi
mengalahkan hal yang nyata, sementara siapa pun yang menguasai fantasi dan
digambarkan secara efektif dan kuat menjadi kuat dalam realitas. Senyuman,
suara lunak, dan rangkaian kata yang menyejukkan, gambaran tentang positivitas,
keyakinan yang membangkitkan kepercayaan, pandangan resolusi yang kokoh,
kekuatan yang sepi, semuanya telah menjadi obat yang mujarab bagi kehidupan
politik, dan tidak diragukan lagi menjadi lebih penting dibandingkan isu dan
filsafat. Teknologi informasi yang berkembang begitu pesat memungkinkan
“informasi sebagai realitas” alias realitas rekaan yang menggilas “informasi
dan untuk realitas”. Ketika daya untuk mencerna pristiwa kian melemah, citra
menjadi lebih penting ketimbang pristiwa nyata. Kita terjatuh pada permainan
citra dan makna. Apakah yang korup itu partai A atau B, tergantung pada saluran
televisi yang kita pilih. Ruang publik menjadi arena pertarungan kepentingan
politik partai yang bersekutu dengan para pemilik modal.
Dalam
lingkungan yang didominasi oleh media yang memberi nasehat mengenai apa yang
harus dibeli, bagaimana mendapatkan hiburan, bagaimana berpakaian, seperti apa
gaya hidup yang harus dipilih, publik menemukan dirinya hampir tidak mungkin
menjadi subjek-subjek yang bebas, deliberatif dan berdaya di tengah-tengah
kontestasi kekuasaan para elitnya. Direndahkan hanya sebagai onggokan-onggokan
individu, sehingga teralienasi dari proses politik yang sesungguhnya. (Niels
Mulder, 2003)
Asosiasi-asosiasi
dapat memanifulasi opini publik tanpa harus dikontrol oleh diri mereka sendiri.
Pekerjaan ruang publik dilakukan untuk menguatkan prestise dirinya sendiri
tanpa mengangkat materi kompromi menjadi tema diskusi publik. Aura otoritas
yang direpresentasikan secara personal muncul kembali sebagai momen kepublikan;
sejauh itu publicity modern jelas-jelas serupa kembali dengan publicness
feodal. Ruang publik berubah menjadi panggung istana tempat mempertontonkan
prestise di depan publik, bukan kritik di dalam publik. Partai-partai politik
adalah alat-alat formasi tapi bukan di tangan publik, melainkan di antara
mereka yang menentukan aparat-aparat partai. Parlemen itu sendiri berubah
menjadi badan perdebatan menjadi badan pertunjukan. Persetujuan parlemen
melayani aspirasi partai ke dunia luar. Kepublikan melayani manipulasi publik
untuk memberikan legitimasi di depan publik itu sendiri. Kepublikan yang kritis
ditindas oleh kepublikan yang manifulatif. Sebagai ganti diskursus publik
dewasa ini muncullah pertunjukan kepentingan-kepentingan yang saling
berkompetisi. (F. Budi Hardiman, 2009b)
Ruang
publik mengalami inpulsi dan amputasi akibat interupsi oleh urusan-urusan
privat yang menjadi kolektif. Akibatnya, timbul kesulitan untuk memilah antara
urusan-urusan publik dan urusan-urusan privat. Ruang publik atau dunia bersama
dalam bahasa Hannah Arendt, akan mengalami destruksi salah satunya oleh atau
dalam “masyarakat massa” atau “histeria massa”, di mana orang bertingkah seolah-olah
mereka adalah anggota dari satu keluarga besar, masing-masing menggandakan dan
melestarikan perspektif orang di sekitarnya. Dalam kasus ini, manusia telah
berubah total menjadi privat, yaitu bahwa mereka tidak lagi dapat melihat dan
mendengar yang lain, dan tidak lagi dapat didengar dan dilihat yang lain.
Politik menjadi lenyap ketika yang publik berubah menjadi yang privat.
Dalam
pandangan Hannah Arendt, kebimbangan untuk memilah “yang publik” dengan “yang
privat” tersebut muncul seiring berkembangnya modernitas. Arendt
mengidentifikasi “yang privat” atau “yang sosial” sebagai semua aktivitas yang
sebelumnya terbatas pada ruang privat, rumah tangga dan melulu soal
subsistensi, kerja, dan reproduksi. Ekspansi luar biasa ekonomi abad ke-18
membuat aktivitas “yang privat” atau “yang sosial” menduduki ruang publik dan
mengubahnya menjadi arena pemenuhan kebutuhan material semata. Urusan pribadi
menjadi ruang publik dan menjelma menjadi urusan kolektif. Dengan perubahan
tersebut, ekonomi memiliki kekuatan untuk membentuk tujuan dan muatan politik,
sampai pada titik ketika politik dimengerti dalam krangka pikir sebuah
“keluarga”. Politik menjadi semata-mata urusan pengelolaan sebuah rumah tangga
raksasa.
Dominasi
urusan privat terhadap urusan urusan publik memiliki konsekuensi cukup fatal.
Baik ruang publik maupun ruang privat hancur. Kehancuran ruang privat berarti
lenyapnya ruang untuk berkontemplasi dan menyepi sekaligus menenangkan diri
sebagai ruang penjarakan dari hiruk-pikuk kehidupan keseharian. Sementara
kehancuran ruang publik menyebabkan lenyapnya ruang tempat identitas
disingkapkan, perbuatan diingat, tradisi diperbaharui, dan sejarah diawetkan.
Ruang publik bukan lagi tempat penyingkapan manusia dalam kemajemukannya,
melainkan sebagai manusia pekerja yang seragam, baik fisik maupun pikiran.
Ruang publik kehilangan kehadirannya sebagai pergulatan “Yang Politik” menjadi
sekedar pabrik kekuasaan yang kemudian dipakai untuk memperkaya diri sendiri. (Donny
Gahral Adian, 2010)
Publik
sebagai kehadiran rakyat pada gilirannya tergerus oleh sakralisasi urusan
privat. Hubungan sosial dan barang menjadi bahan dagangan, komoditas diberi
nilai yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia dan kebutuhannya. Peranan
uang kemudian semakin besar dalam kehidupan sosial. Tata ekonomi seolah-olah
menempuh jalannya sendiri, terlepas dari keinginan individual, dan ini
mengakibatkan masyarakat digerakkan oleh pasar. Komoditas kemudian dipuja
sebagai pemimpin. Pasar kemudian berubah rupa menjadi pusat indoktrinasi
terbaik yang pernah dikenal, karena ia menyentuh kebutuhan dan kepentingan yang
berasal dari sana. Indoktrinasi pasar membuat warga negara menjadi konsumen.
Akibatnya, homo civicus jarang sekali memenangkan persaingan karena homo
economicus mengobrak-abrik dan mengolah nafsu-nafsu yang tertanam dalam
diri seorang manusia.
Segala
upaya untuk menjelmakan kebaikan bersama terseok-seok di bawah egoisme dan
individualisme manusia konsumen. Fakta itu jelas terlihat pada reformasi yang
memang membuka peluang bagi terbentuknya warga negara, namun upaya itu masih
jauh dari harapan karena warga kian tergiring menjadi konsumen. Ketika warga
negara dengan hak dan kewajiban politiknya beralih menjadi konsumen, kebebasan
yang kita dambakan ternyata batal oleh hukum pertukaran dan jual beli. Pasar
tentu akan mengagungkan kebebasan, namun ia menjadi brutal ketia kebebasas
jatuh dalam materialitas gejala sehari-hari. Sebaliknya, totalisasi hampir
seluruh aspek kehidupan ke bawah prinsip daya beli berlangsung sedemikian
halus, sehingga kita terbius di bawah iklan gemerlap. Bahwa pasar semakin
menjadi penentu jatuh bangunnya hidup sehari-hari warga kebanyakan adalah
konsekuensi logis karena kita membiarkan pasar membentuk hasrat-hasrat kita.
Ketika
pasar tumbuh bebas tanpa regulasi, itulah saat kebebasan meminum racunnya
sendiri. Inilah saat kebebasan tak terkendali memungkinkan pihak yang kuat
bebas menindas dan merampas kebebasan yang lemah. Pihak yang berkelebihan dapat
memaksa yang berkekurangan untuk seolah-olah “dengan bebas” menyetujui kontrak
yang sebetulnya dibuat secara sepihak. (Donny Gahral Adian, 2010).
Referensi
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu,
Masyarakat, Politik, dan Posmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta:
Kanisius, 2009a, cet. 5.
______________, Demokrasi Deliberatif; Menimbang ‘Negara Hukum’
dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Hubermas, Yogyakarta:
Kanisius, 2009b, cet. 5.
Geoff Mulgan, Politik dalam Sebuah Era Anti-Politik, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial; Risalah Kebangkrutan
Liberalisme, Depok: Koeskoesan, 2010, cet. 1.
Niels Mulder, Wacana Publik Asia Tenggara; Menuju Masyarakat
Madani, Yogyakarta: Kanisius, 2003, cet. 5,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar