Jumat, 20 Desember 2013

Alienasi Publik dalam Ruang Publik


Oleh: Losse Bouvier
Jurgen Habermas menempatkan pribadi yang rasional sebagai syarat mendasar dalam relasi antaranggota masyarakat. Dalam pandangan Habermas, kekuasaan yang dirasionalkan hanya mungkin dilahirkan oleh pribadi rasional atau publik yang kritis. Kekuasaan yang dirasionalkan itu yang lahir sebagai deliberasi di antara individu-individu politis hanya mungkin dilakukan dalam suatu wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Habermas melihat diskusi publik yang kritis itu hanya mungkin dalam wilayah sosial yang dikenal sebagai ruang publik (public sphere), yakni semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Ide ruang publik Habermas itu terancam disintegrasi. Kondisi pokok yang menyebabkan ruang publik itu terancam disintegrasi adalah ketika ruang publik yang seharusnya menjadi jembatan antara kebutuhan-kebutuhan kelompok masyarakat dan negara justru menjadi sebuah medan persaingan kepentingan-kepentingan organisasi-organisasi dalam bentuk konfrontasi panas dan kasar. Konflik-konflik yang dulu bisa dilokalisasi dalam wilayah privat sekarang justru masuk ke dalam ruang publik. Karena itu, dalam ruang publik dewasa ini yang terjadi bukan komunikasi bebas dominasi yang secara ideal dibayangkan Habermas, melainkan justru komunikasi padat distorsi, ruang publik yang kehilangan fungsi kritisnya. (F. Budi Hardiman, 2009a)
Gambar ruang publik yang terakhir inilah menjadi problem utama publik Indonesia. Meski berbagai ranah publik seperti kebebasan politik, keterbukaan media dan teknologi informasi, kebebasan pasar sudah relatif terbebas dari rezim otoriter, ruang publik ideal masih jauh terwujudnya dalam Republik Indonesia.
Jika ruang publik mengandaikan sebua proses deliberasi di antara pribadi-pribadi yang rasional dan kritis untuk menghasilkan keonsensus-konsensus bersama, maka pada titik inilah persoalan utama ruang publik itu mencuat. Ambivalensi selalu mewarnai ranah publik Indonesia karena eksistensi publik justru teralienasi dalam ruang publik yang ada, seperti oleh proses politik, media informasi, atau pun di dalam pasar.
Meski publik menjadi poros pusat dalam proses politik pasca reformasi sekarang ini seperti pada pemilu dan pilkada langsung, namun pada kenyataannya demokratisasi yang berlangsung adalah proses yang seolah-olah demokratis; masyarakat kebanyakan hanya berperan sebagai figuran semata-mata. (Niels Mulder, 2003). Apa yang absen dalam proses politik dan sirkulasi kekuasaan pada momentum-momentum politik adalah peran aktif para masyarakat di dalam kehidupan bernegara. Masyarakat memang muncul di dalam pemilihan umum, ikut pawai kampanye partai politik, atau mencoblos gambar kandidat mereka, namun suara mereka raib di dalam jangka waktu di antara dua pemilihan umum. Politik memusatkan dirinya terutama pada institusi-institusi negara yang sudah mapan yang diduduki dan dipakai oleh para penguasa sebagai alat. Institusi-institusi ini memainkan peran untuk melegitimasikan tujuan-tujuan bersama dan menyelesaikan konflik. Memang ada parlemen yang seharusnya mewakili rakyat, namun partai-partai politik mendominasi parlemen dan mengarah pada perebuatan kekuasaan. Ruang untuk para warga negara di dalam politik sesungguhnya sangat sedikit dan sempit. Dalam gambaran lazim itu, politik adalah bisnis para elit. Publik memang merupakan sumber terpenting legitimasi kekuasaan, namun mereka juga dapat dimanipulasi karena dipolitisasi dan bukan spesialis-spesialis dalam bidang politik. Politik yang lazim ini tidak memberdayakan, melainkan memperdaya publik. (F. Budi Hardiman, 2009b)
Setiap momentum pemilu dan pilkada, politik memperlihatkan diri pada baliho-baliho, pada slogan-slogan yang gencar dikoar-koarkan, kampanye-kampanye, akan tetapi semua tahu bahwa publik lebih sering kali luput dari persoalan politik yang menyangkut kehidupan keseharian mereka kecuali dalam momen-momen politik tersebut. Tak ayal, pemilu dan pilkada lebih seperti komedi absurd dan memalukan.
Politik yang melulu dimaknai secara formal dan prosudural, sebagaimana telah kita lihat selama ini, hanya melihat politik sebagai momen-momen priodik. Padahal, momen-momen priodik seperti pemilu dan pilkada harus dimaknai sebagai “hasil pemakaian publik atas hak-hak komunikatif” yang berlangsung terus menerus di “ruang antara” pemilihan satu ke pemilihan berikutnya. (F. Budi Hardiman, 2009b). Pemilihan umum memang lokus para para warga negara menentukan diri mereka, namun yang harus disadari adalah pemilihan bukanlah lokus satu-satunya. Justru yang lebih substansial adalah lokus-lokus yang berada di “ruang antara” tersebut, karena di ruang tersebut, publik sesungguhnya menemukan dan menentukan dirinya. Persoalannya, lembaga-lembaga politik terutama partai hanya melihat publik sebagai kuantitas massa yang potensial secara kuantitas sehingga proses deliberasi di “ruang antara” kemudian diabaikan. Politik hanya dimaknai sebagai kuasa (power) dan bukan pemberdayaan (empowering) Akibatnya, dunia politik muncul seperti yang dikatakan Hans Magnus Ezensberger, “Menyerupai bengkel-bengkel di mana para teknisi yang khawatir membungkuk ke arah motor-motor yang rusak, dan menggaruk-menggaruk kepalanya karena tidak tahu bagaimana caranya menghidupkan kembali mesinnya.” (Geoff Mulgan, 1995)
Penyingkiran publik yang rasional dan kritis parahnya juga terjadi di ruang publik yang kolonisasinya paling masif, yakni industri informasi. Kita melihat bahwa bukan suatu kebetulan bahwa era politik dan demokrasi bersentuhan dengan era industrialisasi informasi. Posisinya sentral karena kemampuannya membawa populasi massa ke arah politik melalui hubungan dan partisipasi seketika, penerimaan, dan penyebaran pandangan-pandangan.
Informasi merupakan suatu bahan mentah bagi fakta dan fantasi, dan telah begitu diindustrialisasi sehingga aslinya nyaris tidak tampak. Informasi dapat dibuat, dipilih, digandakan, dan disebarkan nyaris tanpa batas. Informasi dapat dibuat seolah-olah tidak berasal dari mana pun. Dibuat untuk kebutuhan-kebutuhan kognitif, dan dirangkai bersama sebagai salinan. Informasi hanya membutuhkan titik-titik referensi minimal. Hubungan antara informasi dan suatu realitas objektif lebih renggang. Akibatnya, penerima hanya mempunyai sedikit dasar untuk mengadakan penilaian, selain daripada otoritas yang diterima atau pun pengalaman yang terbatas.
Dalam dunia semacam itu tidak mengherankan bahwa fiksi bisa lebih unggul; fantasi mengalahkan hal yang nyata, sementara siapa pun yang menguasai fantasi dan digambarkan secara efektif dan kuat menjadi kuat dalam realitas. Senyuman, suara lunak, dan rangkaian kata yang menyejukkan, gambaran tentang positivitas, keyakinan yang membangkitkan kepercayaan, pandangan resolusi yang kokoh, kekuatan yang sepi, semuanya telah menjadi obat yang mujarab bagi kehidupan politik, dan tidak diragukan lagi menjadi lebih penting dibandingkan isu dan filsafat. Teknologi informasi yang berkembang begitu pesat memungkinkan “informasi sebagai realitas” alias realitas rekaan yang menggilas “informasi dan untuk realitas”. Ketika daya untuk mencerna pristiwa kian melemah, citra menjadi lebih penting ketimbang pristiwa nyata. Kita terjatuh pada permainan citra dan makna. Apakah yang korup itu partai A atau B, tergantung pada saluran televisi yang kita pilih. Ruang publik menjadi arena pertarungan kepentingan politik partai yang bersekutu dengan para pemilik modal.
Dalam lingkungan yang didominasi oleh media yang memberi nasehat mengenai apa yang harus dibeli, bagaimana mendapatkan hiburan, bagaimana berpakaian, seperti apa gaya hidup yang harus dipilih, publik menemukan dirinya hampir tidak mungkin menjadi subjek-subjek yang bebas, deliberatif dan berdaya di tengah-tengah kontestasi kekuasaan para elitnya. Direndahkan hanya sebagai onggokan-onggokan individu, sehingga teralienasi dari proses politik yang sesungguhnya. (Niels Mulder, 2003)
Asosiasi-asosiasi dapat memanifulasi opini publik tanpa harus dikontrol oleh diri mereka sendiri. Pekerjaan ruang publik dilakukan untuk menguatkan prestise dirinya sendiri tanpa mengangkat materi kompromi menjadi tema diskusi publik. Aura otoritas yang direpresentasikan secara personal muncul kembali sebagai momen kepublikan; sejauh itu publicity modern jelas-jelas serupa kembali dengan publicness feodal. Ruang publik berubah menjadi panggung istana tempat mempertontonkan prestise di depan publik, bukan kritik di dalam publik. Partai-partai politik adalah alat-alat formasi tapi bukan di tangan publik, melainkan di antara mereka yang menentukan aparat-aparat partai. Parlemen itu sendiri berubah menjadi badan perdebatan menjadi badan pertunjukan. Persetujuan parlemen melayani aspirasi partai ke dunia luar. Kepublikan melayani manipulasi publik untuk memberikan legitimasi di depan publik itu sendiri. Kepublikan yang kritis ditindas oleh kepublikan yang manifulatif. Sebagai ganti diskursus publik dewasa ini muncullah pertunjukan kepentingan-kepentingan yang saling berkompetisi. (F. Budi Hardiman, 2009b)
Ruang publik mengalami inpulsi dan amputasi akibat interupsi oleh urusan-urusan privat yang menjadi kolektif. Akibatnya, timbul kesulitan untuk memilah antara urusan-urusan publik dan urusan-urusan privat. Ruang publik atau dunia bersama dalam bahasa Hannah Arendt, akan mengalami destruksi salah satunya oleh atau dalam “masyarakat massa” atau “histeria massa”, di mana orang bertingkah seolah-olah mereka adalah anggota dari satu keluarga besar, masing-masing menggandakan dan melestarikan perspektif orang di sekitarnya. Dalam kasus ini, manusia telah berubah total menjadi privat, yaitu bahwa mereka tidak lagi dapat melihat dan mendengar yang lain, dan tidak lagi dapat didengar dan dilihat yang lain. Politik menjadi lenyap ketika yang publik berubah menjadi yang privat.
Dalam pandangan Hannah Arendt, kebimbangan untuk memilah “yang publik” dengan “yang privat” tersebut muncul seiring berkembangnya modernitas. Arendt mengidentifikasi “yang privat” atau “yang sosial” sebagai semua aktivitas yang sebelumnya terbatas pada ruang privat, rumah tangga dan melulu soal subsistensi, kerja, dan reproduksi. Ekspansi luar biasa ekonomi abad ke-18 membuat aktivitas “yang privat” atau “yang sosial” menduduki ruang publik dan mengubahnya menjadi arena pemenuhan kebutuhan material semata. Urusan pribadi menjadi ruang publik dan menjelma menjadi urusan kolektif. Dengan perubahan tersebut, ekonomi memiliki kekuatan untuk membentuk tujuan dan muatan politik, sampai pada titik ketika politik dimengerti dalam krangka pikir sebuah “keluarga”. Politik menjadi semata-mata urusan pengelolaan sebuah rumah tangga raksasa.
Dominasi urusan privat terhadap urusan urusan publik memiliki konsekuensi cukup fatal. Baik ruang publik maupun ruang privat hancur. Kehancuran ruang privat berarti lenyapnya ruang untuk berkontemplasi dan menyepi sekaligus menenangkan diri sebagai ruang penjarakan dari hiruk-pikuk kehidupan keseharian. Sementara kehancuran ruang publik menyebabkan lenyapnya ruang tempat identitas disingkapkan, perbuatan diingat, tradisi diperbaharui, dan sejarah diawetkan. Ruang publik bukan lagi tempat penyingkapan manusia dalam kemajemukannya, melainkan sebagai manusia pekerja yang seragam, baik fisik maupun pikiran. Ruang publik kehilangan kehadirannya sebagai pergulatan “Yang Politik” menjadi sekedar pabrik kekuasaan yang kemudian dipakai untuk memperkaya diri sendiri. (Donny Gahral Adian, 2010)
Publik sebagai kehadiran rakyat pada gilirannya tergerus oleh sakralisasi urusan privat. Hubungan sosial dan barang menjadi bahan dagangan, komoditas diberi nilai yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia dan kebutuhannya. Peranan uang kemudian semakin besar dalam kehidupan sosial. Tata ekonomi seolah-olah menempuh jalannya sendiri, terlepas dari keinginan individual, dan ini mengakibatkan masyarakat digerakkan oleh pasar. Komoditas kemudian dipuja sebagai pemimpin. Pasar kemudian berubah rupa menjadi pusat indoktrinasi terbaik yang pernah dikenal, karena ia menyentuh kebutuhan dan kepentingan yang berasal dari sana. Indoktrinasi pasar membuat warga negara menjadi konsumen. Akibatnya, homo civicus jarang sekali memenangkan persaingan karena homo economicus mengobrak-abrik dan mengolah nafsu-nafsu yang tertanam dalam diri seorang manusia.
Segala upaya untuk menjelmakan kebaikan bersama terseok-seok di bawah egoisme dan individualisme manusia konsumen. Fakta itu jelas terlihat pada reformasi yang memang membuka peluang bagi terbentuknya warga negara, namun upaya itu masih jauh dari harapan karena warga kian tergiring menjadi konsumen. Ketika warga negara dengan hak dan kewajiban politiknya beralih menjadi konsumen, kebebasan yang kita dambakan ternyata batal oleh hukum pertukaran dan jual beli. Pasar tentu akan mengagungkan kebebasan, namun ia menjadi brutal ketia kebebasas jatuh dalam materialitas gejala sehari-hari. Sebaliknya, totalisasi hampir seluruh aspek kehidupan ke bawah prinsip daya beli berlangsung sedemikian halus, sehingga kita terbius di bawah iklan gemerlap. Bahwa pasar semakin menjadi penentu jatuh bangunnya hidup sehari-hari warga kebanyakan adalah konsekuensi logis karena kita membiarkan pasar membentuk hasrat-hasrat kita.
Ketika pasar tumbuh bebas tanpa regulasi, itulah saat kebebasan meminum racunnya sendiri. Inilah saat kebebasan tak terkendali memungkinkan pihak yang kuat bebas menindas dan merampas kebebasan yang lemah. Pihak yang berkelebihan dapat memaksa yang berkekurangan untuk seolah-olah “dengan bebas” menyetujui kontrak yang sebetulnya dibuat secara sepihak. (Donny Gahral Adian, 2010).



Referensi
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik, dan Posmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009a, cet. 5.
______________, Demokrasi Deliberatif; Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Hubermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009b, cet. 5.
Geoff Mulgan, Politik dalam Sebuah Era Anti-Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial; Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Depok: Koeskoesan, 2010, cet. 1.
Niels Mulder, Wacana Publik Asia Tenggara; Menuju Masyarakat Madani, Yogyakarta: Kanisius, 2003, cet. 5, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar