Jumat, 20 Desember 2013

Geneologi Penafsiran Modern Atas Islam: Sebuah Pengantar


Oleh: Losse
Gerakan Revivalisme Islam
Ada dua faktor besar yang menjadi pendorong semangat pembaharuan Islam dan sekaligus menunjukkan spirit yang berbeda, yakni kejatuhan Islam kesultanan dan kehadiran Barat dengan tujuan kolonialisme dan tantangan modernitas yang dibawanya. Pembicaraan kita pada diskusi ini akan terfokus pada faktor yang kedua, terutama pada tantangan modernitas  Barat dan ambiguitas Islam  dalam menghadapi tantangan tersebut, namun cukup penting untuk mengulas faktor yang pertama, karena pengaruhnya masih sangat besar di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika hingga detik ini.
Faktor pertama berlangsung mulai abad ketujuh belas ketika kekuatan, kemakmuran, dan perluasan dinamis Islam mengalami kemerosotan. Priode ini juga ditandai dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan
dan kekalahan-kekalahan militer, merosotnya kekuasaan pusat, dan kemunduran ekonomi yang diakibatkan persaingan dengan Eropa.
Para revivalis waktu itu berkesimpulan bahwa penyebab kemerosotan kehidupan umat Islam disebabkan oleh kemerosotasan spiritual dan akhlak umat Islam yang menunjukkan penyimpangan dari Islam yang sejati. Karena itu, satu-satunya jalan untuk mengembalikan kejayaan Islam adalah bertolak pada jalan lurus Islam. Sentimen ini menemukan momentum internasionalnya disebabkan oleh kontak-kontak dan pertukaran yang terjadi di kalangan para ulama yang telah berkelana ke berbagai tempat untuk menuntut ilmu dan belajar di pusat-pusat agama dan pendidikan Islam di Makkah, Madinah, dan Kairo. Pada saat yang sama, gelombang baru neo-sufisme muncul dengan tujuan melakukan puritanisasi ekses-ekses panteisme dan eklektisme yang berkembang dalam sufisme popular. Puritanisasi neo-sufisme menekankan pada transendensi Tuhan dan keutamaan syariah.
Kecenderungan revivalisme dan puritanisasi tersebut berkembang dengan vitalitas yang mencengangkan selama abad kedelapan belas, dan dampak-dampak yang dilahirkannya masih jelas mewarnai kehidupan kaum Muslim di berbagai negara, bahkan menjadi objek reformasi  oleh para pemikir kontemporer karena dianggap begitu mapan sehingga cenderung tidak peka pada perubahan zaman dan kehidupan sosial.
Spirit yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan pembaharuan pada priode ini adalah penekanan mereka pada keunikan dan visi Islam yang sebenarnya lengkap sebagaimana termuat dalam sumber-sumbernya. Revivalisasi Islam bukan ditujukan untuk mencari ide-ide baru dan membangun kembali masyarakat Islam salaf dalam arti harfiahnya tetapi untuk menerapkan kembali al-Qur’an dan Sunnah secara ketat pada kondisi-kondisi yang ada. Oleh karena itu, gerakan ini membawa potensi militan, bahkan revolusioner sebagai sebuah kekutan moral dan politik, sebagaimana terlihat pada gelombang revivalis religio-politis abad kedelapan belas dan sembilan belas yang tersebar di dunia Islam mulai dari Sudan sampai Sumatera. Orientasi dan jkeragaman revivalis ditujukan oleh kasus-kasus sejumlah gerakan di Arabia, India, dan Afrika.
Di Arabia, kita bisa menyebut Wahhabi sebagai gerakan paling refresentatif dan paling terkenal. Signifikansinya tidak hanya karena pengaruhnya dalam membentuk Saudi Arabia, tetapi juga karena perannya sebagai model revivalisme modern. Pendirinya Muhammad bin Abd al-Wahab (1703-1792) merupakan lulusan pendidikan hukum, teologi, dan sufisme di Makkah dan Madinah. Ia menganggap kondisi masyarakatnya hanya setingkat di atas masyarakat jahiliyah pra Islam. Ia dibuat risau oleh praktik agama masyarakat yang menurutnya terjerumus dalam khurafat dan kemusrikan, seperti pengeramatan wali dan makam-makam mereka. Ia sangat mengecam praktik seperti itu dan menganggapnya sebagai bid’ah yang merusak tauhid umat Islam. Diagnosis Wahhabi sama dengan para revivalis lain yang meyakini bahwa kelemahan politik dan anomali sosial ummat karena mereka telah menjauh dari Islam yang semestinya. Karena itu, obatnya sangat jelas yakni kembali kepada praktik Islam yang sejati.
Gerakan Wahhabi seringkali dianggap terlalu revolusioner kalau tidak ingin dikatakan terlalu kaku dan keras, serta gagasan-gagasannya terlalu radikal. Meskipun gerakan Wahhabi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Ibn Taymiah, namun gerakan tersebut tidak bisa dikatakan menduplikatnya secara total, bahkan pada sisi lain mereduksi pandangan-pandangan Ibn Taymiah. Misalnya, Ibn Taymiah memang menyerang praktik-praktik sufisme namun serangan itu tidak bersifat frontal berhubung ada segi-segi sufisme yang diakomodasi oleh Ibn Taymiah. Sebaliknya, gerakan Wahhabi menyerang sufisme secara keseluruhan.
 Hampir bersamaan dengan gerakan Wahhabi di Saudi Arabia, di anak benua India muncul gerakan pembaharuan Islam yang dilancarkan oleh Syah Waliullah dari Delhi (1702-1762), yang dalam banyak hal merupakan kelanjutan dari pembaharuan Syekh Ahmad Sirhindi. Syah Waliullah belajar di Makkah dan merupakan sejawat Muhammad bin Abdul Wahhab.  Ia hidup pada zaman kritis bagi Muslim India karena kekuatan kerajaan Mughal sedang merosot. Komunitas Muslim tidak hanya terlibat perpecahan internal, juga kekuasaan politiknya ditantang oleh pemberontakan umat Hindu dan Sikh. Perpecahan yang terjadi di internal Islam adalah antara faksi Sunni-Syiah, Ahlul Hadist-para fuqaha, dan ulama-kaum sufi. Pembaharuannya ditujukan untuk melakukan puritasi atas praktik-praktik bid’ah dan mereformasi sufi populer yang ia anggap bertanggungjawab atas banyaknya sinkretisme yang mengancam jati diri, saringan moral, dan daya hidup Islam India. Seperti kaum revivalis lainnya, pemurnian dan pembaharuan Islam tergantung pada kembali pada syariah yang asli, di dasarkan pada kedua sumber utama Islam, al-Qur’an dan Sunnah yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Baginya, pemulihan masyarakat Muslim adalah prasyarat untuk memulihkan kekuatan Mughal.
Dalam usahanya untuk melakukan pemurnian ajaran-ajaran Islam, Syah Waliullah menempuh jalan yang lebih moderat dibanding dengan Abdul Wahhab. Hal ini tidak saja disebabkan oleh situasi politik berbeda, melainkan juga karena lingkungan spiritual India yang sangat berbeda dengan di Arabia. Oleh karena itu, Syah Waliullah tidak secara total menolak sufisme akan tetapi mengusahakan suatu asimilasi antara ortodoksi dan sufisme, serta dalam batas-batas tertentu memanfaatkan sufisme untuk tujuan-tujuan pembaharuan sosial-ekonomi masyarakat Islam. Syah Waliullah menganjurkan kaum Muslim untuk mulai memikirkan suatu negara sendiri yang nantinya dapat menjadi bagian dari suatu negara supra-nasional.
Warisan penting Syah Waliullah, dan merupakan kontribusi utamanya pada pemikiran Islam modern adalah kecamannya terhadap taqlid dan penekanannya pada pembukaan kembali pintu ijtihad. Sebagaimana ia menggunakan prinsip-prinsip rekonsiliasi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di kalangan sufi di antara Sunni dan Syi’ah, ajarannya mengenai ijtihad sangat penting untuk menyelesaikan konflik yang tak kunjung henti antara para ahlul hadist dan para fuqaha. Dalam hal ini ia membuka jalan untuk para reformis sesudahnya, mulai dari modernis Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal, sampai neo-revivalis seperi Maulana Abu Ala al-Maududi.
Pemikiran dan pembaharuan Islam juga muncul di Afrika yang dipelopori oleh gerakan Sanusiah di Libia. Tokoh pendiri gerakan ini adalah Muhammad Ali Ibn al Sanusi (1787-1859). Ia sangat menolak perpecahan politik yang diakibatkan oleh tribalisme dan regionalisme, serta menegaskan kembali perlunya persatuan dan solidaritas Islam. Program Sanusi mengikuti jalan aktivismi militan. Program ini memerlukan penyatuan faksi-faksi suku atas nama persaudaraaan se-Islam mereka dan karean itu sangat peduli dengan pembentukan negara Islam maupun penyebaran Islam. Untuk itu diupayakan pendirian zawiah-zawiah atau pondok-pondok sufi, yang menjadi tempat-tempat shalat dan pendidikan maupun pelatihan militer dan kesejahtraan sosial. Meski pada segi lahirnya membentuk suatu tariqah sebagaimana lazimnya suatu gerakan sufisme, namun mistisisme dan pemujaan pada orang-orang suci menjadi objek purifikasi.
Di atas adalah beberapa contoh gerakan-gerakan pembaharuan Islam sebelum abad keduapuluh yang memiliki kesamaan dasar. Gerakan revivalisme pada priode ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor internal Islam dan belum bersentuhan secara intensif dengan Barat beserta pengaruh-pengaruhnya. Gerakan ini murni sebagai jawaban atas kemerosotan agama dan moral umat Islam yang disebabkan oleh praktik-praktik ‘bid’ah’ terutama yang berkembang dalam praktik-praktik sufisme. Sufisme dianggap sebagai dalang kemandekan, statis, dan mengaburkan elan kreativitas Islam. Salah satu proyek pembaharuan kaum revivalis pada priode ini adalah membuka pintu ijtihad dan kembali kepada kemurnian Islam yang sejati di bawah naungan Islam dan Sunnah, serta melakukan jihad untuk merebut kejayaan Islam dari orang-orang kafir.
Namun, perlu diingat bahwa meskipun gerakan-gerakan revivalis tersebut meneguhkan persetujuan atas prinsip tentang perlunya ijtihad kembali dan reformasi, penting untuk membedakan pemahaman tentang ijtihad dan reformasi itu dengan pemahaman pemikir belakangan yang kemudian memperluas dan memperlebar penggunaan wacana ini. Bagi revivalis priode ini, tujuan ijtihad bukan untuk merumuskan jawaban-jawaban baru tetapi untuk menemukan kembali petunjuk yang telah dilupakan dari masa lalu.
Setelah pembahasan singkat tentang gerakan-gerakan pembaharuan dan revivalisasi Islam pada abad kedelapan belas, kini kita beranjak pada faktor yang kedua kebangkitan pemikiran dan pembaharuan Islam pada priode modern, yang diakibatkan oleh kolonialisme dan tantangan modernitas yang dibawanya.
Gerakan dan Penafsiran Modern dalam Islam.
Sementara gerakan-gerakan revivalis pramodern terutama termotivasi secara internal, modernisasi Islam adalah respon terhadap kelemahan internal yang tak kunjung hilang maupun respon terhadap ancaman politik dan religio-kultural eksternal dari kolonialisme dan modernitas Barat.
Misi dagang Eropa abad keenam belas dan tujuh belas secara progresif meluas hingga sejak abad kedelapan belas banyak dari wilayah dunia Muslim merasakan dampak ancaman ekonomi dan militer dari teknologi dan modernisasi Eropa. Perubahan kekuasaan yang penting terjadi ketika kejayaan Islam yang sedang memudar membalik pola hubungan ekspansionisme-memimpin menjadi hubungan yang defensif dan tunduk. Sejak abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh Eropa masuk dan semakin mendominasi banyak wilayah hingga Asia Tenggara. Imperialisme Barat menimbulkan krisis agama maupun politik. Untuk pertama kalinya, banyak bagian dunia Muslim kehilangan kedaulatan politik dan budayanya di tangan Eropa Kristen. Gagasan dan cara-cara kehidupan tradisional yang telah lama dipegang, kini ditantang, dan respon harus diberikan. Tantangan itu telah datang atas nama dunia luar yang modern. Tantangan tersebut menimbulkan ambiguitas tersendiri bagi umat Islam. Bagaimana mengkompromikan Islam dengan modernitas, dan sampai sejauhmana kompromi itu dimungkinkan atau malah sama sekali kedua entitas ini tak mungkin bersanding. Tantangan tersebut menimbulkan pertanyaan dalam benak para pemikir mengenai apa itu modernitas, dan apa arti menjadi modern. Tidak ada respon yang sama mengenai fenomena ini.
Di dunia Arab terjadi perdebatan mengenai nilai-nilai relatif modernitas dan otentisitas yang berarti kesejatian bagi seseorang. Para pendukung otentisitas mengklaim bahwa integritas perlu dipertahankan untuk menghadapi perubahan yang cepat dan massif. Mereka melihat perubahan sebagai penggerus nilai-nilai kebudayaan yang asali; perubahan menjadikan kebudayaan yang asli tergantikan dengan hal-hal baru. Bagi penyokong asalah, masa kini hanyalah interval saja antara priode asal mula yang kaffah dan penghidupan kembali asa mula itu. mereka ingin menentang dunia modern. Dunia luar boleh berubah, namun jiwa otentik, jiwa asli, jiwa abadi manusia Arab harus diselamatkan – jiwa yang telah diungkapkan dalam bahasa, kebudayaan, sejarah, atau dalam satu kata Islam.
Muslim modern harus mendefinisikan hubungannya dengan masa lalu Islam, karena di jantung modernitas terletak prinsip pertumbuhan yang menampik masa lalu. Muslim modern hidup dalam keterputusan yang tajam dengan sejarah pramodernnya. Transisi muslim modern menuju kondisi-kondisi kontemporer juga mengalami distorsi karena cepatnya laju modernitas. Seringkali keadaan ini diperparah dengan tumbuhnya perasaan tersingkir, yang diakibatkan oleh kekalahan politik dan spiritual ketika Barat tampak tak terkalahkan dan hadir di mana-mana. Keterputusan dengan masa lalu di rasakan terlalu cepat dan mendadak. Akibatnya, banyak kaum muslim pada masa sekarang ini mencoba meraih kembali masa lalu, yang mencakup semua keyakinan dan sikap dan mengintegrasika kembali masa lalu dalam keadaan yang telah berubah total.
Ambiguitas respon Islam terhadap modernitas, tercermin secara sangat baik dalam ungkapan reflektif Abdou Filali Ansari, “Bagaimanakah seorang bisa mejadi Muslim hari ini? tidak ada jawaban yang sederhana. Di satu sisi, Islam tampak menjadi ikhtisar keyakinan yang tidak berubah selama berabad-abad, dan di sisi lain, kehidupan modern menawarkan kepada kita kumpulan konsep terbaru yang lebih sesuai dengan teori-teori dan gagasan-gagasan ilmiah kontemporer yang dikembangkan oleh manusia modern pada umumnya lebih memuaskan dari sudut pandang intelektual. Seringkali terdapat ketidaksesuaian antara dua aspek ini; tidak hanya dengan Islam sebagai sebuah keyakinan, namun juga dengan Islam sebagai bentuk yang hidup dalam kesadaran jutaan manusia. kebanyakan muslim melangsungkan kehidupan yang mendua di mana mereka menjaga kedekatan dengan komunitas Islam namun tampa menganut secara total segenap keyakinan yang bersumber darinya. Oleh karean itu, kehidupan sehari-hari dan keyakinan bisa sangat berlawanan.”
Ringkasnya, masalah yang berkaitan dengan kaum Muslim yang telah berjalan selama kurang lebih satu setengah abad ini adalah bagaimana menjadi modern dan muslim. Respon untuk masalah ini sudah banyak. Sebagian mengatakan bahwa hal itu mustahil, mereka menerima dunia sekuler dengan kata lain mengenyampingkan agamanya. Sebagian yang lain, menegasi modernitas semampu mereka dan mengejar otentisitas masa lalu yang ideal. Perkembangan pemikiran Islam selalu berada di antara kedua sikap ekstrem ini.
Pada priode ini kita bisa menyebut beberapa tokoh pembaharu yang mencoba menjembatani di antara kedua kecenderungan di atas. Jamaluddin al-Afghani adalah salah satunya. Ia mulai merumuskan gagasan mengenai bagaimana masyarakat Islam seharusnya beraksi terhadap apa yang dia pandang sebagai ancaman dari Eropa. Ia tidak menolak semua gagasan Barat, dan malah sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa gagasan tersebut. Ia percaya pada kemampuan manusia untuk bertindak guna mengubah kondisinya dan membuat kemajuan dalam perkembangan individual dan sosial. Namun, kemajuan itu tergantung pada keadaan moralnya. Ia juga menggarisbawahi pentingnya bertindak secara rasional dan menerima gagasan yang dihasilkan oleh akal. Masyarakat Islam akan maju kembali jika mereka menerima gagasan ini dan bersatu; dia merupakan seorang pendukung kuat pan-Islamisme. Masyarakat bisa memperbarui dirinya sendiri jika kembali kesejatian Islam.
Islam menurut al-Afghani, yang paling utama adalah sebuah keyakinan terhadap transendensi Tuhan dan akal. Ijtihad adalah hal yang diperlukan, dan tugas manusia adalah menerapkan prinsip-prinsip al-Qur’an dalam cara yang baru untuk mengatasi masalah-masalah zaman mereka. jika masyarakat tidak melakukan hal serupa maka mereka akan mengalami kemandegan atau hanya meniru-niru saja. Peniruan merugikan masyarakat. Menurut Afghani “Jika orang muslim hanya meniru Eropa, mereka tidak menjadi orang Eropa, karena kata-kata dan tindakan-tindakan Eropa berasal dari prinsip-prinsip tertentu yang pada umumnya dipahami dan diterima oleh masyarakat Eropa itu sendiri.”
Murid Afghani, Muhammad Abduh juga tampaknya menyadari betapa rentannya kebudayaan Eropa di antara mereka yang mengadopsi prilaku Prancis yang semu. Ia menyatakan bahwa “Meskipun orang Timur meniru Eropa, sesungguhnya tidak ada manfaat dalam peniruan itu kecuali jika orang Timur menyempurnakan pengetahuan mereka akan sumber-sumber budaya Eropa.”
Dia bertanya bagaima sekat pemisah antara Islam dan modernitas bisa dijembatani. Ia lalu memberi jawaban bahwa kaum Muslimin harus menerima kebutuhan yang bersandarkan pada prinsip-prinsip Islam. Islam menuntut perubahan, namun hanya jika perubahan itu dipahami secara tepat dipandang dari sumber-sumber agama yang asli dan murni. Seorang pemikir sebeumnya, Khair al-Din al Tunisi, telah mempersoalkan (pada tahun 1830) apakah kaum muslim yang saleh harus menerima lembaga-lembaga dan gagasan-gagasan dunia modern. Abduh memikirkan persoalan ini dan bertanya apakah seorang yang hidup di dunia modern masih bisa menjadi seorang Muslim yang saleh. Abduh menjawab bahwa Islam seyogyanya menjadi basis moral dari masyarakat modern dan progresif, namun Islam tidak dapat menyetujui semua yang dilaksanakan atas nama modernisasi. Umat Islam seharusnya hidup menurut perintah-perintah Tuhan, dan dengan penalaran, menegaskan bahwa apa yang relevan bagi masyarakat kontemporer. Masyarakat Islam dapat mengadopsi gagasan Ilmu Eropa tanpa meninggalkan Islam itu sendiri.
Namun, tidak semua dapat menerima dengan lapang sisi-sisi pembaharuan yang ditawarkan Abduh. Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hassan al-Banna adalah sebuah contoh dan bentuk reaksi yang mencoba melakukan konter terhadap pemikiran-pemikiran Abduh yang dianggap cenderung menggiring pada liberalisasi dan sekularisasi. Menurut al-Banna, Islam merupakan keyakinan dan ideologi yang mencakup dan mengatur segala urusan manusia, dan Islam tidak menciut ketika menghadapi masalah-masalah baru dan pembaruan-pembaruan yang diperlukan. Hassan al Banna melihat barat dalam pengertian negatif sebagai suatu ancaman, invasi terhadap kehidupan kaum muslimin dan sebuah tantangan yang dipersenjatai dan diperlengkapi dengan semua pengaruh yang merusak dan degeneratif melalui uang, kekayaan, prestis, pamer, kenikmatan material, kekuasaan, dan alat-alat propaganda. Hassan al Banna dan gerakan Ikhwanul Muslimin percaya bahwa modernisme telah kebablasan, dan mereka menyalahkan Barat. Secara khusus al-Banna mengecam dampak sistem pendidikan Barat moder yang menyemaikan keraguan dan bid’ah di dalam pikiran kaum muslimin.
Solusi al-Banna dan gerakan IM terbentuk dari perspektif politik. Sebuah negara Islam akan menghentikan kemerosotan moral dalam negeri dan memberlakukan kembali hukum syariah. Dengan penafsiran kembali, kebudayaan dan tradisi Islam akan mampu melawan dan menghapus kontrol berlebihan dari Barat.
Sayyid Qutb memperkeras pesan al-Banna. Ia memiliki pandangan yang sangat muram mengenai peradaban Barat. Baginya, Islam dan Barat tidaklah sesuai, dua entitas yang tak mungkin disatukan. Hanya ada pertarungan antara kaum beriman melawan kaum kafir, antara sekularisme-kapitalisme melawan Islam. Modernisasi baginya adalah kemenangan Barat dan kekalahan Islam. Dia beranggapan bahwa Barat, dengan tekanannya pada ilmu dan teknologi, sedang menghancurkan keabsahan agama secara total. Orang-orang dipaksa untuk meninggalkan hal-hal spiritual demi hal-hal material. Barat telah gagal memberikan martabat dan kesejahtraan manusia. semua itu diistilahkan dengan jahiliah  dan di saat yang sama dia memandang Islam itu sendiri sebagai kebaikan.
Apa yang menjadi jawaban Qutb bagi masalah dunia modern adalah Islam itu sendiri yang merupakan sistem sosial menyeluruh yang melayani semua kebutuhan, sistem yang berbeda secara mendasar dari semua sistem lainnya. masa lalu Islam harus dipakai lagi untuk melawan Barat dan modernisme, serta semua gagsan jahiliah harus diberantas. Qutb meramalkan kematian kapitalisme, dan mengecam semua upaya untuk mendamaikan Islam dengan masyarakat kontemporer, sebaliknya meminta masyarakat kontemporer yang seyogiyanya mengikuti nilai-nilai Islam.
Pada dasarnya, tak ada respon yang sama terhadap tantangan modernitas Barat, bahkan sampai ketika pengaruh luar ini secara defakto terusir dari bumi umat Muslim. Para pemikir selalu berada di antara dua kubu yang saling tarik-menarik, yakni sekularisme total dan otentisitas total atau penegasian total terhadap modernitas Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar