Oleh: Losse
Gerakan
Revivalisme Islam
Ada
dua faktor besar yang menjadi pendorong semangat pembaharuan Islam dan
sekaligus menunjukkan spirit yang berbeda, yakni kejatuhan Islam kesultanan dan
kehadiran Barat dengan tujuan kolonialisme dan tantangan modernitas yang
dibawanya. Pembicaraan kita pada diskusi ini akan terfokus pada faktor yang
kedua, terutama pada tantangan modernitas
Barat dan ambiguitas Islam dalam
menghadapi tantangan tersebut, namun cukup penting untuk mengulas faktor yang
pertama, karena pengaruhnya masih sangat besar di beberapa negara di Timur Tengah
dan Afrika hingga detik ini.
Faktor
pertama berlangsung mulai abad ketujuh belas ketika kekuatan, kemakmuran, dan
perluasan dinamis Islam mengalami kemerosotan. Priode ini juga ditandai dengan munculnya
pemberontakan-pemberontakan
dan kekalahan-kekalahan militer, merosotnya
kekuasaan pusat, dan kemunduran ekonomi yang diakibatkan persaingan dengan
Eropa.
Para
revivalis waktu itu berkesimpulan bahwa penyebab kemerosotan kehidupan umat
Islam disebabkan oleh kemerosotasan spiritual dan akhlak umat Islam yang
menunjukkan penyimpangan dari Islam yang sejati. Karena itu, satu-satunya jalan
untuk mengembalikan kejayaan Islam adalah bertolak pada jalan lurus Islam.
Sentimen ini menemukan momentum internasionalnya disebabkan oleh kontak-kontak
dan pertukaran yang terjadi di kalangan para ulama yang telah berkelana ke
berbagai tempat untuk menuntut ilmu dan belajar di pusat-pusat agama dan
pendidikan Islam di Makkah, Madinah, dan Kairo. Pada saat yang sama, gelombang
baru neo-sufisme muncul dengan tujuan melakukan puritanisasi ekses-ekses
panteisme dan eklektisme yang berkembang dalam sufisme popular. Puritanisasi
neo-sufisme menekankan pada transendensi Tuhan dan keutamaan syariah.
Kecenderungan
revivalisme dan puritanisasi tersebut berkembang dengan vitalitas yang
mencengangkan selama abad kedelapan belas, dan dampak-dampak yang dilahirkannya
masih jelas mewarnai kehidupan kaum Muslim di berbagai negara, bahkan menjadi
objek reformasi oleh para pemikir
kontemporer karena dianggap begitu mapan sehingga cenderung tidak peka pada
perubahan zaman dan kehidupan sosial.
Spirit
yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan pembaharuan pada priode ini adalah
penekanan mereka pada keunikan dan visi Islam yang sebenarnya lengkap
sebagaimana termuat dalam sumber-sumbernya. Revivalisasi Islam bukan ditujukan
untuk mencari ide-ide baru dan membangun kembali masyarakat Islam salaf dalam
arti harfiahnya tetapi untuk menerapkan kembali al-Qur’an dan Sunnah secara
ketat pada kondisi-kondisi yang ada. Oleh karena itu, gerakan ini membawa
potensi militan, bahkan revolusioner sebagai sebuah kekutan moral dan politik,
sebagaimana terlihat pada gelombang revivalis religio-politis abad kedelapan
belas dan sembilan belas yang tersebar di dunia Islam mulai dari Sudan sampai
Sumatera. Orientasi dan jkeragaman revivalis ditujukan oleh kasus-kasus
sejumlah gerakan di Arabia, India, dan Afrika.
Di
Arabia, kita bisa menyebut Wahhabi sebagai gerakan paling refresentatif dan
paling terkenal. Signifikansinya tidak hanya karena pengaruhnya dalam membentuk
Saudi Arabia, tetapi juga karena perannya sebagai model revivalisme modern.
Pendirinya Muhammad bin Abd al-Wahab (1703-1792) merupakan lulusan pendidikan
hukum, teologi, dan sufisme di Makkah dan Madinah. Ia menganggap kondisi
masyarakatnya hanya setingkat di atas masyarakat jahiliyah pra Islam. Ia dibuat
risau oleh praktik agama masyarakat yang menurutnya terjerumus dalam khurafat
dan kemusrikan, seperti pengeramatan wali dan makam-makam mereka. Ia sangat
mengecam praktik seperti itu dan menganggapnya sebagai bid’ah yang merusak
tauhid umat Islam. Diagnosis Wahhabi sama dengan para revivalis lain yang
meyakini bahwa kelemahan politik dan anomali sosial ummat karena mereka telah
menjauh dari Islam yang semestinya. Karena itu, obatnya sangat jelas yakni kembali
kepada praktik Islam yang sejati.
Gerakan
Wahhabi seringkali dianggap terlalu revolusioner kalau tidak ingin dikatakan
terlalu kaku dan keras, serta gagasan-gagasannya terlalu radikal. Meskipun
gerakan Wahhabi dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Ibn Taymiah, namun gerakan
tersebut tidak bisa dikatakan menduplikatnya secara total, bahkan pada sisi
lain mereduksi pandangan-pandangan Ibn Taymiah. Misalnya, Ibn Taymiah memang
menyerang praktik-praktik sufisme namun serangan itu tidak bersifat frontal berhubung
ada segi-segi sufisme yang diakomodasi oleh Ibn Taymiah. Sebaliknya, gerakan Wahhabi
menyerang sufisme secara keseluruhan.
Hampir bersamaan dengan gerakan Wahhabi di
Saudi Arabia, di anak benua India muncul gerakan pembaharuan Islam yang
dilancarkan oleh Syah Waliullah dari Delhi (1702-1762), yang dalam banyak hal
merupakan kelanjutan dari pembaharuan Syekh Ahmad Sirhindi. Syah Waliullah
belajar di Makkah dan merupakan sejawat Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia hidup pada zaman kritis bagi Muslim India
karena kekuatan kerajaan Mughal sedang merosot. Komunitas Muslim tidak hanya
terlibat perpecahan internal, juga kekuasaan politiknya ditantang oleh
pemberontakan umat Hindu dan Sikh. Perpecahan yang terjadi di internal Islam
adalah antara faksi Sunni-Syiah, Ahlul Hadist-para fuqaha, dan ulama-kaum sufi.
Pembaharuannya ditujukan untuk melakukan puritasi atas praktik-praktik bid’ah
dan mereformasi sufi populer yang ia anggap bertanggungjawab atas banyaknya
sinkretisme yang mengancam jati diri, saringan moral, dan daya hidup Islam
India. Seperti kaum revivalis lainnya, pemurnian dan pembaharuan Islam
tergantung pada kembali pada syariah yang asli, di dasarkan pada kedua sumber
utama Islam, al-Qur’an dan Sunnah yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
Baginya, pemulihan masyarakat Muslim adalah prasyarat untuk memulihkan kekuatan
Mughal.
Dalam
usahanya untuk melakukan pemurnian ajaran-ajaran Islam, Syah Waliullah menempuh
jalan yang lebih moderat dibanding dengan Abdul Wahhab. Hal ini tidak saja
disebabkan oleh situasi politik berbeda, melainkan juga karena lingkungan
spiritual India yang sangat berbeda dengan di Arabia. Oleh karena itu, Syah
Waliullah tidak secara total menolak sufisme akan tetapi mengusahakan suatu
asimilasi antara ortodoksi dan sufisme, serta dalam batas-batas tertentu
memanfaatkan sufisme untuk tujuan-tujuan pembaharuan sosial-ekonomi masyarakat
Islam. Syah Waliullah menganjurkan kaum Muslim untuk mulai memikirkan suatu
negara sendiri yang nantinya dapat menjadi bagian dari suatu negara
supra-nasional.
Warisan
penting Syah Waliullah, dan merupakan kontribusi utamanya pada pemikiran Islam
modern adalah kecamannya terhadap taqlid dan penekanannya pada pembukaan
kembali pintu ijtihad. Sebagaimana ia menggunakan prinsip-prinsip rekonsiliasi
untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di kalangan sufi di antara Sunni dan
Syi’ah, ajarannya mengenai ijtihad sangat penting untuk menyelesaikan konflik
yang tak kunjung henti antara para ahlul hadist dan para fuqaha. Dalam hal ini
ia membuka jalan untuk para reformis sesudahnya, mulai dari modernis Sayyid
Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal, sampai neo-revivalis seperi Maulana Abu Ala
al-Maududi.
Pemikiran
dan pembaharuan Islam juga muncul di Afrika yang dipelopori oleh gerakan
Sanusiah di Libia. Tokoh pendiri gerakan ini adalah Muhammad Ali Ibn al Sanusi
(1787-1859). Ia sangat menolak perpecahan politik yang diakibatkan oleh
tribalisme dan regionalisme, serta menegaskan kembali perlunya persatuan dan
solidaritas Islam. Program Sanusi mengikuti jalan aktivismi militan. Program
ini memerlukan penyatuan faksi-faksi suku atas nama persaudaraaan se-Islam
mereka dan karean itu sangat peduli dengan pembentukan negara Islam maupun
penyebaran Islam. Untuk itu diupayakan pendirian zawiah-zawiah atau
pondok-pondok sufi, yang menjadi tempat-tempat shalat dan pendidikan maupun
pelatihan militer dan kesejahtraan sosial. Meski pada segi lahirnya membentuk
suatu tariqah sebagaimana lazimnya suatu gerakan sufisme, namun mistisisme dan
pemujaan pada orang-orang suci menjadi objek purifikasi.
Di
atas adalah beberapa contoh gerakan-gerakan pembaharuan Islam sebelum abad
keduapuluh yang memiliki kesamaan dasar. Gerakan revivalisme pada priode ini
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor internal Islam dan belum bersentuhan secara
intensif dengan Barat beserta pengaruh-pengaruhnya. Gerakan ini murni sebagai
jawaban atas kemerosotan agama dan moral umat Islam yang disebabkan oleh
praktik-praktik ‘bid’ah’ terutama yang berkembang dalam praktik-praktik
sufisme. Sufisme dianggap sebagai dalang kemandekan, statis, dan mengaburkan
elan kreativitas Islam. Salah satu proyek pembaharuan kaum revivalis pada
priode ini adalah membuka pintu ijtihad dan kembali kepada kemurnian Islam yang
sejati di bawah naungan Islam dan Sunnah, serta melakukan jihad untuk merebut
kejayaan Islam dari orang-orang kafir.
Namun,
perlu diingat bahwa meskipun gerakan-gerakan revivalis tersebut meneguhkan
persetujuan atas prinsip tentang perlunya ijtihad kembali dan reformasi,
penting untuk membedakan pemahaman tentang ijtihad dan reformasi itu dengan
pemahaman pemikir belakangan yang kemudian memperluas dan memperlebar
penggunaan wacana ini. Bagi revivalis priode ini, tujuan ijtihad bukan untuk merumuskan
jawaban-jawaban baru tetapi untuk menemukan kembali petunjuk yang telah
dilupakan dari masa lalu.
Setelah
pembahasan singkat tentang gerakan-gerakan pembaharuan dan revivalisasi Islam
pada abad kedelapan belas, kini kita beranjak pada faktor yang kedua
kebangkitan pemikiran dan pembaharuan Islam pada priode modern, yang
diakibatkan oleh kolonialisme dan tantangan modernitas yang dibawanya.
Gerakan
dan Penafsiran Modern dalam Islam.
Sementara
gerakan-gerakan revivalis pramodern terutama termotivasi secara internal,
modernisasi Islam adalah respon terhadap kelemahan internal yang tak kunjung
hilang maupun respon terhadap ancaman politik dan religio-kultural eksternal
dari kolonialisme dan modernitas Barat.
Misi
dagang Eropa abad keenam belas dan tujuh belas secara progresif meluas hingga
sejak abad kedelapan belas banyak dari wilayah dunia Muslim merasakan dampak
ancaman ekonomi dan militer dari teknologi dan modernisasi Eropa. Perubahan
kekuasaan yang penting terjadi ketika kejayaan Islam yang sedang memudar
membalik pola hubungan ekspansionisme-memimpin menjadi hubungan yang defensif
dan tunduk. Sejak abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh Eropa masuk
dan semakin mendominasi banyak wilayah hingga Asia Tenggara. Imperialisme Barat
menimbulkan krisis agama maupun politik. Untuk pertama kalinya, banyak bagian
dunia Muslim kehilangan kedaulatan politik dan budayanya di tangan Eropa
Kristen. Gagasan dan cara-cara kehidupan tradisional yang telah lama dipegang,
kini ditantang, dan respon harus diberikan. Tantangan itu telah datang atas
nama dunia luar yang modern. Tantangan tersebut menimbulkan ambiguitas
tersendiri bagi umat Islam. Bagaimana mengkompromikan Islam dengan modernitas,
dan sampai sejauhmana kompromi itu dimungkinkan atau malah sama sekali kedua
entitas ini tak mungkin bersanding. Tantangan tersebut menimbulkan pertanyaan
dalam benak para pemikir mengenai apa itu modernitas, dan apa arti menjadi
modern. Tidak ada respon yang sama mengenai fenomena ini.
Di
dunia Arab terjadi perdebatan mengenai nilai-nilai relatif modernitas dan
otentisitas yang berarti kesejatian bagi seseorang. Para pendukung otentisitas
mengklaim bahwa integritas perlu dipertahankan untuk menghadapi perubahan yang
cepat dan massif. Mereka melihat perubahan sebagai penggerus nilai-nilai
kebudayaan yang asali; perubahan menjadikan kebudayaan yang asli tergantikan
dengan hal-hal baru. Bagi penyokong asalah, masa kini hanyalah interval saja
antara priode asal mula yang kaffah dan penghidupan kembali asa mula itu.
mereka ingin menentang dunia modern. Dunia luar boleh berubah, namun jiwa
otentik, jiwa asli, jiwa abadi manusia Arab harus diselamatkan – jiwa yang
telah diungkapkan dalam bahasa, kebudayaan, sejarah, atau dalam satu kata
Islam.
Muslim
modern harus mendefinisikan hubungannya dengan masa lalu Islam, karena di
jantung modernitas terletak prinsip pertumbuhan yang menampik masa lalu. Muslim
modern hidup dalam keterputusan yang tajam dengan sejarah pramodernnya.
Transisi muslim modern menuju kondisi-kondisi kontemporer juga mengalami
distorsi karena cepatnya laju modernitas. Seringkali keadaan ini diperparah
dengan tumbuhnya perasaan tersingkir, yang diakibatkan oleh kekalahan politik
dan spiritual ketika Barat tampak tak terkalahkan dan hadir di mana-mana.
Keterputusan dengan masa lalu di rasakan terlalu cepat dan mendadak. Akibatnya,
banyak kaum muslim pada masa sekarang ini mencoba meraih kembali masa lalu,
yang mencakup semua keyakinan dan sikap dan mengintegrasika kembali masa lalu dalam
keadaan yang telah berubah total.
Ambiguitas
respon Islam terhadap modernitas, tercermin secara sangat baik dalam ungkapan
reflektif Abdou Filali Ansari, “Bagaimanakah seorang bisa mejadi Muslim hari
ini? tidak ada jawaban yang sederhana. Di satu sisi, Islam tampak menjadi
ikhtisar keyakinan yang tidak berubah selama berabad-abad, dan di sisi lain,
kehidupan modern menawarkan kepada kita kumpulan konsep terbaru yang lebih
sesuai dengan teori-teori dan gagasan-gagasan ilmiah kontemporer yang dikembangkan
oleh manusia modern pada umumnya lebih memuaskan dari sudut pandang
intelektual. Seringkali terdapat ketidaksesuaian antara dua aspek ini; tidak
hanya dengan Islam sebagai sebuah keyakinan, namun juga dengan Islam sebagai
bentuk yang hidup dalam kesadaran jutaan manusia. kebanyakan muslim
melangsungkan kehidupan yang mendua di mana mereka menjaga kedekatan dengan
komunitas Islam namun tampa menganut secara total segenap keyakinan yang
bersumber darinya. Oleh karean itu, kehidupan sehari-hari dan keyakinan bisa
sangat berlawanan.”
Ringkasnya,
masalah yang berkaitan dengan kaum Muslim yang telah berjalan selama kurang
lebih satu setengah abad ini adalah bagaimana menjadi modern dan muslim. Respon
untuk masalah ini sudah banyak. Sebagian mengatakan bahwa hal itu mustahil,
mereka menerima dunia sekuler dengan kata lain mengenyampingkan agamanya.
Sebagian yang lain, menegasi modernitas semampu mereka dan mengejar otentisitas
masa lalu yang ideal. Perkembangan pemikiran Islam selalu berada di antara
kedua sikap ekstrem ini.
Pada
priode ini kita bisa menyebut beberapa tokoh pembaharu yang mencoba
menjembatani di antara kedua kecenderungan di atas. Jamaluddin al-Afghani
adalah salah satunya. Ia mulai merumuskan gagasan mengenai bagaimana masyarakat
Islam seharusnya beraksi terhadap apa yang dia pandang sebagai ancaman dari
Eropa. Ia tidak menolak semua gagasan Barat, dan malah sebenarnya dipengaruhi
oleh beberapa gagasan tersebut. Ia percaya pada kemampuan manusia untuk
bertindak guna mengubah kondisinya dan membuat kemajuan dalam perkembangan
individual dan sosial. Namun, kemajuan itu tergantung pada keadaan moralnya. Ia
juga menggarisbawahi pentingnya bertindak secara rasional dan menerima gagasan
yang dihasilkan oleh akal. Masyarakat Islam akan maju kembali jika mereka
menerima gagasan ini dan bersatu; dia merupakan seorang pendukung kuat
pan-Islamisme. Masyarakat bisa memperbarui dirinya sendiri jika kembali
kesejatian Islam.
Islam
menurut al-Afghani, yang paling utama adalah sebuah keyakinan terhadap
transendensi Tuhan dan akal. Ijtihad adalah hal yang diperlukan, dan tugas
manusia adalah menerapkan prinsip-prinsip al-Qur’an dalam cara yang baru untuk
mengatasi masalah-masalah zaman mereka. jika masyarakat tidak melakukan hal
serupa maka mereka akan mengalami kemandegan atau hanya meniru-niru saja.
Peniruan merugikan masyarakat. Menurut Afghani “Jika orang muslim hanya meniru
Eropa, mereka tidak menjadi orang Eropa, karena kata-kata dan tindakan-tindakan
Eropa berasal dari prinsip-prinsip tertentu yang pada umumnya dipahami dan
diterima oleh masyarakat Eropa itu sendiri.”
Murid
Afghani, Muhammad Abduh juga tampaknya menyadari betapa rentannya kebudayaan
Eropa di antara mereka yang mengadopsi prilaku Prancis yang semu. Ia menyatakan
bahwa “Meskipun orang Timur meniru Eropa, sesungguhnya tidak ada manfaat dalam
peniruan itu kecuali jika orang Timur menyempurnakan pengetahuan mereka akan
sumber-sumber budaya Eropa.”
Dia
bertanya bagaima sekat pemisah antara Islam dan modernitas bisa dijembatani. Ia
lalu memberi jawaban bahwa kaum Muslimin harus menerima kebutuhan yang
bersandarkan pada prinsip-prinsip Islam. Islam menuntut perubahan, namun hanya
jika perubahan itu dipahami secara tepat dipandang dari sumber-sumber agama
yang asli dan murni. Seorang pemikir sebeumnya, Khair al-Din al Tunisi, telah
mempersoalkan (pada tahun 1830) apakah kaum muslim yang saleh harus menerima
lembaga-lembaga dan gagasan-gagasan dunia modern. Abduh memikirkan persoalan
ini dan bertanya apakah seorang yang hidup di dunia modern masih bisa menjadi
seorang Muslim yang saleh. Abduh menjawab bahwa Islam seyogyanya menjadi basis
moral dari masyarakat modern dan progresif, namun Islam tidak dapat menyetujui
semua yang dilaksanakan atas nama modernisasi. Umat Islam seharusnya hidup
menurut perintah-perintah Tuhan, dan dengan penalaran, menegaskan bahwa apa
yang relevan bagi masyarakat kontemporer. Masyarakat Islam dapat mengadopsi
gagasan Ilmu Eropa tanpa meninggalkan Islam itu sendiri.
Namun,
tidak semua dapat menerima dengan lapang sisi-sisi pembaharuan yang ditawarkan
Abduh. Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hassan al-Banna adalah sebuah
contoh dan bentuk reaksi yang mencoba melakukan konter terhadap
pemikiran-pemikiran Abduh yang dianggap cenderung menggiring pada liberalisasi
dan sekularisasi. Menurut al-Banna, Islam merupakan keyakinan dan ideologi yang
mencakup dan mengatur segala urusan manusia, dan Islam tidak menciut ketika
menghadapi masalah-masalah baru dan pembaruan-pembaruan yang diperlukan. Hassan
al Banna melihat barat dalam pengertian negatif sebagai suatu ancaman, invasi
terhadap kehidupan kaum muslimin dan sebuah tantangan yang dipersenjatai dan
diperlengkapi dengan semua pengaruh yang merusak dan degeneratif melalui uang,
kekayaan, prestis, pamer, kenikmatan material, kekuasaan, dan alat-alat
propaganda. Hassan al Banna dan gerakan Ikhwanul Muslimin percaya bahwa
modernisme telah kebablasan, dan mereka menyalahkan Barat. Secara khusus
al-Banna mengecam dampak sistem pendidikan Barat moder yang menyemaikan
keraguan dan bid’ah di dalam pikiran kaum muslimin.
Solusi
al-Banna dan gerakan IM terbentuk dari perspektif politik. Sebuah negara Islam
akan menghentikan kemerosotan moral dalam negeri dan memberlakukan kembali
hukum syariah. Dengan penafsiran kembali, kebudayaan dan tradisi Islam akan
mampu melawan dan menghapus kontrol berlebihan dari Barat.
Sayyid
Qutb memperkeras pesan al-Banna. Ia memiliki pandangan yang sangat muram
mengenai peradaban Barat. Baginya, Islam dan Barat tidaklah sesuai, dua entitas
yang tak mungkin disatukan. Hanya ada pertarungan antara kaum beriman melawan
kaum kafir, antara sekularisme-kapitalisme melawan Islam. Modernisasi baginya
adalah kemenangan Barat dan kekalahan Islam. Dia beranggapan bahwa Barat,
dengan tekanannya pada ilmu dan teknologi, sedang menghancurkan keabsahan agama
secara total. Orang-orang dipaksa untuk meninggalkan hal-hal spiritual demi
hal-hal material. Barat telah gagal memberikan martabat dan kesejahtraan
manusia. semua itu diistilahkan dengan jahiliah dan di saat yang sama dia memandang Islam itu
sendiri sebagai kebaikan.
Apa
yang menjadi jawaban Qutb bagi masalah dunia modern adalah Islam itu sendiri
yang merupakan sistem sosial menyeluruh yang melayani semua kebutuhan, sistem
yang berbeda secara mendasar dari semua sistem lainnya. masa lalu Islam harus
dipakai lagi untuk melawan Barat dan modernisme, serta semua gagsan jahiliah
harus diberantas. Qutb meramalkan kematian kapitalisme, dan mengecam semua
upaya untuk mendamaikan Islam dengan masyarakat kontemporer, sebaliknya meminta
masyarakat kontemporer yang seyogiyanya mengikuti nilai-nilai Islam.
Pada
dasarnya, tak ada respon yang sama terhadap tantangan modernitas Barat, bahkan
sampai ketika pengaruh luar ini secara defakto terusir dari bumi umat Muslim.
Para pemikir selalu berada di antara dua kubu yang saling tarik-menarik, yakni
sekularisme total dan otentisitas total atau penegasian total terhadap
modernitas Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar