Jumat, 20 Desember 2013

Kepemimpinan dan Kebudayaan


“Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturan, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut arus dalam zaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya, kesengsaraan dunia karena tergenang berbagai halangan”
Serat Kalatidha
Adalah pujangga besar Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ranggawarsita yang  menciptakan karya besar itu sebagai ekspresi atas kekisruan negerinya yang disebabkan berbagai situasi krisis dan kacau balau oleh berbagai bencana, sehingga ia menyebutnya sebagai zaman edan.
Serat Kalatidha tersebut tampaknya ditulis saat masa tua sang Pujangga (1802-1874), yang berarti bahwa rel-rel kereta api dari Semarang hingga ke Vostenlanden sedang dipasang, kapitalisme mulai masuk ke daerah kejawen, Mangkunegara dan Kasunanan mulai melepas sistem apanage dalam menyewakan tanah-tanah kerajaan kepada perkebunan, dan ekonomi uang sedang mengubah masyarakat pedesaan. (Kuntowijoyo, 1999, h. 11)

Kerajaan kehilangan legitimasi, tidak ada lagi yang bisa dijadikan teladan (exemplary center) dalam kehidupan sosial budaya, negara kehilangan wibawa dan pengaruhnya dihadapan rakyat dan negara lain. Pemimpin negara, para aparat, dan penguasa pemerintahan terhadap rakyatnya sama saja perbuatannya, seperti maraknya korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri, penindasan kepada rakyat, dan menjalarnya perilaku asusila.
Para cerdik-pandai juga mulai kehilangan wibawanya karena ikut terjerumus dalam kontradiksi sosial-budaya di segala bidang dalam masyarakat. Sementara, orang-orang yang berjiwa baik, cerdas dan bijaksana, justru kalah dengan mereka yang culas, licik, kerdil, dan jahat. Itulah sebabnya, orang-orang baik justru tersisih dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pikuk dunia yang penuh oleh angkara murka dan silau oleh pesona duniawi. Banyak rakyat yang sedih, menderita, sengsaran, dan kelaparan sehingga terjadi kesukaran hidup dan amat suram tanda-tanda kehidupan di masa depan. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang menjadi gila, baik gila karena kehilangan akal sehat atau pun gila harta, kedudukan, kekuasaan, dan pangkat. (Puji Santosa, 2010, h. 300-302)
Industri awal rupanya menggoncangkan masyarakat dan kebudayaan. Menghadapi kekuasaan zaman edan yang begitu menyengsarakan sendi-sendi kehidupan itu membuat hidup serba tidak menentu. Hati dan pikiran sudah tidak sehat lagi. Karena serba sulit menentukan sikap. (Kuntowijoyo, 1999, h. 11). Seperti yang digambarkan Ranggawarsita, “amening jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan ora tahan, yen tan milu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wakasanipun. Dilalah kersa Allah begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada (mengalami zaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut gila, tidak mendapatkan bagian, akhirnya kelaparan, tapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia yang sadar dan waspada)”. (Puji Santosa, 2010, h. 297-300)
Rentetan kata ini juga saya tulis, ketika kekerasan-kekerasan komunal di “ujung timur” negeri ini (Papua) terus berkecamuk, benih-benih konflik di Poso mulai coba ditanam kembali, bencana alam lumpur Sidoarjo yang tak kunjung (mau di) tuntas (kan). Rakyat kecil berjalan kaki sejauh beratus-ratus kilo meter dari tempat tinggal mereka ke Jakarta demi menuntut keadilan, seperti yang dilakukan oleh sebuah keluarga lumpur lapindo.  Sementara dalam pentas politik nasional, kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara, para menteri, DPR, hakim, hingga penguasa, mulai terkuak menyiratkan wajah bangsa yang sebenarnya. Kemiskinan, kesejahtraan dan pengangguran adalah berita sehari-hari yang memenuhi batok kepala kita.
Meski berlebihan, realitas itu menurut saya serupa dengan apa yang dialami dan digambarkan Ranggawarsita. Dalam zaman seperti ini, tak mudah menemukan sosok yang bisa dijadikan tauladan, sulit menemukan norma yang bisa dijadikan pegangan, susah mendengarkan kejujuran dan merasakan ketulusan. 
Apakah makna kenyataan ini dan hubungannya dengan kepemimpinan pemuda? Saya memulai pembahasan bab ini dengan prase yang diambil dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita, karena menurut hemat saya, kaum muda harus menyadari bahwa zaman inilah adalah zaman yang serba susah. Susah mencari tauladan, susah menemukan keluhuran dan ketulusan, susah mendapatkan kesempatan karena kemampuan, dan susah menjadi pemimpin yang tidak ikut (gila).
Pemuda harus menyadari kondisi sosial tempat eksistensi dirinya. “zaman edan” yang melanda negeri ini terutama sejak pertengahan tahun 1997 hingga lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998.
Krisis yang melanda Indonesia mula-mula berupa krisis moneter dengan semakain merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain, kemudian meningkat pada krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis politik, krisis keamanan, dan krisis-krisis lain di berbagai sektor dengan ditandai oleh perilaku manusia yang mengarah pada brutalitas, sadisme, dan kekerasan-kekerasan. Para pemimpin saling menghujat tanpa etika. Ancaman disintegrasi bangsa semakin meluas di tengah-tengah masyarakat dengan lepasnya Timor-Timor, pergolakan menuntut kemerdekaan seperti di Aceh dan Papua, hingga pertumpahan darah di berbagai daerah.
Krisis-krisis yang melanda negeri ini sejak 1997 hingga reformasi 1998, meski terjadi perbaikan-perbaikan namun tidak bisa kita menutup mata bahwa berbagai dampak dari pristiwa sosial itu masih menghantui bangsa ini hingga sekarang. Bukan untuk menunjukkan pesismisme, namun sebaliknya setiap optimisme itu harus berangkat dari realitas yang sedang terjadi dan menyelimuti keseharian kita. Sehingga optimisme itu tidak jatuh pada utopia belaka.
Ranggawarsita pun, meski menggambarkan keputusasaan terhadap kondisi zamannya hingga menyebutnya dengan zaman edan, namun dalam Serat Kalathida itu pun tetap menaruh harapan untuk memberi peringatan-peringatan kepada para penguasa dan rakyat di zamannya. Karena sebagaimana yang diungkapkannya, “sebahagia-bahagia orang yang lupa, lebih bahagia orang yang ingat dan waspada”. Sejak awal, spirit itulah yang mendasari setiap untain kata dalam tulisan ini. Saya ingin kita terus memiliki harapan, mimpi, dan optimisme bahwa meskipun realitas mempersulit bagi lahirnya sosok-sosok pemimpin sejati, kita butuh untuk selalu ingat dan waspada, sebagaimana yang diungkapkan Ranggawarsita.
Kenyataan-kenyataan krisis seperti itu malah membuat saya merindukan adanya tatanan idela sesuai dengan norma-norma luhur yang menjadi budaya kita. Yaitu norma-norma yang menurut saya bisa menjadi pedoman bagi terwujudnya tatanan kehidupan bermasyarakat yang sejahtra yang terdapat dalam tradisi yang diwariskan oleh para pemikir dan para pujangga masa lalu.
Di sisi lain,  saya tidak ingin wacana pemuda dan kepemimpinan itu lahir hanya sebagai romantisasi dari sejarah masa lalu belaka. Sehingga seperti yang diungkapkan Onghokham, peran heroik pemuda kemudian jatuh menjadi mitos yang selalu didengunkan. Padahal menurutnya, tanpa mengecilkan nilai perjuanngan kaum muda “peran pemuda baik dalam revolusi maupun peperangan terutama hanya sebagai tenaga atau umpan peluru”.
Kaum muda harus menyadari krisis yang tengah menyelimuti Indonesia dan berusaha untuk melampaui krisis-krisis itu untuk kemudian memperbaikinya sehingga mereka pun pantas menjadi pemimpin hari ini dan masa mendatang.
Seperti yang diungkapkan Max Depree, tanggungjawan seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Dan usaha untuk mendefinisikan realitas itu membutuhkan kepekaan-kepekaan terhadap kenyataan sosial yang tengah berlangsung. Sehingga kita, kaum muda bisa menentukan realitas Indonesia seperti apa yang hendak didefinisikan dan bagaimana realitas yang sudah didefinisikan itu diproyeksikan di masa depan. (WWW. Budimansujatmiko.net)
Kaum muda dimaksudkan adalah mereka yang mampu menafsirkan ulang masa lalu sehingga tidak menjadi tawanan masa lalu itu sendiri baik itu oleh asumsi-asumsi kadaluarsa maupun labirin konflik masa lalu yang menciutkan cakrawala.
Tapi, hal itu tidak berarti kaum muda semacam itu harus meninggalkan keberakarannya dalam realitas yang membentuk bangsa dan negara ini. Justru, mereka adalah kaum muda yang sadar akan jalannya sejarah dari realitas yang mereka jalani hari ini.
Realitas utama yang harus menjadi kesadaran kaum muda adalah terkait dasar yang mempersatukan Indonesia. Yang mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke adalah kesadaran dalam hati bahwa kita ini satu bangsa, bangsa Indonesia. Karena itu, Anderson menyebutnya sebagai the imagine communitty. Karena kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang alami, sesuatu yang berdasarkan bahasa dan budaya yang sama seperti kebangsaan Polandia dan Korea.
Kebangsaan Indonesia lahir dari tekad untuk bersama yang tumbuh dari sejarah pengalaman perjuangan bersama demi kemerdekaan. Maka, kalau semangat persatuan itu menguap atau tekad untuk bersama itu juga terkikis, maka tidak ada yang tertinggal. Yang ada hanyalah kelompok-kelompok kecil berdasarkan bahasa, suku, agama, dan kedaerahan yang berbeda-beda. Kalau kesatuan bangsa Indonesia merupakan hasil pengalaman dalam sejarah, kalau kebangsaan Indonesia tumbuh dari kebhinekaan ke yang tunggal ika, hal itu berarti kebangsaan itu bukan sesuatu yang taken for granted, tapi sesuatu yang diusahakan dan harus dipelihara. (Franz Magnis-Suseno, 2012, h. 7-8)
Fakta menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki semua persyaratan untuk tidak bersatu. Perbedaan dan keberagaman rakyat Indonesia begitu besar sehingga di satu sisi merupakan sebuah “keajaiban” Indonesia menjadi bersatu seperti saat ini. Bahkan, banyak negara yang menjadi terpecah-belah tanpa memiliki keberagaman sekompleks Republik Indonesia ini. Tapi, tidak bisa dinafikan oleh siapa pun adalah bahwa di antara semua perbedaan dan keberagaman itu, Indonesia ternyata bersatu. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 8)   
Namun, yang harus disadari adalah apabila unsur-unsur yang membangun imajinasi tentang kebersamaan itu mulai luntur, sebagian bangsa merasa diabaikan, nasib mereka tidak diperhatikan, harta mereka dieskploitasi secara tidak adil, maka rasa persatuan itu pun akan menguap. Seperti yang diungkapkan Romo Magnis Suseno, kebangsaan Indonesia bukan merupakan sebuah fakta, melainkan sebuah panggilan luhur; panggilan untuk mewujudkan persatuan sedemikian rupa sehingga semua warga bangsa merasa terangkat dan terdukung oleh kebangsaan mereka. (Franz Magnis-Suseno, 2012, h. 7-8)
Dalam konteks bernegara, keadilan sosial menjadi kata kunci hasrat etis yang musti diwujudkan. Negara harus adil. Bangsa Indonesia tercipta dari kerelaan bangsa-bangsa untuk menjadi satu, karena itu kerelaan tersebut harus dihargai oleh negara dengan memperlakukan bangsa-bangsa itu secara adil. Dalam hal ini, adil berarti seluruh bangsa, segenap insan Indonesia dapat hidup utuh sebagai manusia dan utuh sebagai warga negara. Dan itu mungkin hanya apabila kebutuhan dasar segenap insan Indonesia dapat terpenuhi.
Maka penciptaan kondisi-kondisi yang memungkinkan segenap warga bangsa dapat menjamin kebutuhan-kebutuhan dasarnya harus menjadi prioritas pembangunan yang diprakarsai oleh negara. Negara keadilan sosial adalah tuntutan solidaritas bangsa. Solidaritas itulah dasar persatuan sebuah bangsa yang majemuk. Bukti solidaritas sosial suatu bangsa adalah bagaimana ia memperlakukan warga negaranya yang paling lemah; mereka yang fakir-miskin, kelompok-kelompok minoritas, para perempuan, atau semua mereka yang tidak dapat membantu diri mereka sendiri. (Franz Magnis-Suseno, 2012, h. 31-32)
Dan, realitas itu yang musti tertambat dalam hati dan sanubari serta diperjuangkan oleh kaum muda sebagai pemimpin hari ini maupun pemimpin di masa depan. Persatuan Indonesia bukan sesuatu yang alami, melainkan sangat tergantung dari sikap kita bersama. Persatuan itu mungkin karena dialami sebagai sesuatu yang luhur, yang melahirkan semangat untuk berkorban, yang mendorong rakyat untuk memberikan yang terbaik demi Indonesia, yang menjatuhkan air mata kebanggaan ketika bendera Indonesia dikibarkan dalam berbagai event.
Dari sudut pandang itu kita pantas bangga, namun dari sudut pandang lain, kita juga pantas cemas. Karena mencermati hasil studi Arend Lijphard, mengenai demokrasi di negara-negara plural. Ia mengidentifikasi, dari 114 negara, hanya 15% di antaranya yang dapat digolongkan sebagai demokrasi yang stabil yang berasal dari masyarakat plural, yang umumnya berasal dari masyarakat yang kurang lebih homogen (low and moderate pluralism). (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 13)  
Masyarakat yang plural di Dunia Ketiga acapkali terjatuh pada instabilitas yang rawan disintegrasi. Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang plural, multikultural, dan sangat heterogen, pada dasarnya tak memiliki jaminan untuk tidak mengalami disintegrasi.
Kondisi akhir-akhir ini menurut beberapa kalangan sudah menunjukkan gejala ke disintegrasi itu. Hal tersebut ditandai oleh semakin menjamurnya forum-forum yang mencoba untuk menyuarakan identitas ras, membangkitkan sentimen suku, menyemarakkan tradisi-tradisi daerah, serta menyuarakan keunikan-keunikan, keunggulan-keunggulan dan perbedaan-perbedaan di antara masing-masing daerah.
Menurut Huntington, fenomena itu merupakan gejala moderniasai dan globalisasi. Modernisasi dan globalisasi ternyata tidak serta merta melahap semua keunikan-keunikan yang ada diberbagai belahan dunia dan menjadikan homogen. Bahkan, yang terjadi adalah fenomena peningkatan kesadaran etnik, kultural, serta agama. Moderniasai, pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan globalisasi telah mendorong masyarakat untuk memperkecil jati diri mereka yang diterjemahkan dalam pengertian kemasyarakatan yang lebih sempit dan intim. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 5)
Jati diri subnasional etnis, komunal, dan jati diri regional lebih diutamakan daripada jati diri nasional yang lebih luas. Akan tetapi penyempitan jati diri itu berlangsung beriringan dengan perluasan jati diri karena masyarakat semakin banyak berinteraksi dengan bangsa lain yang memiliki adat-istiadat dan peradaban yang berbeda. Penyempitan jati diri ini bisa dilihat dari misalnya, gencarnya kembali ke etnisitas di panggung politik Indonesia akhir-akhir ini.
Namun demikian, fenomena kembali ke etnisitas  tersebut bukanlah sesuatu yang selalu negatif. Tuntutan otonomi etnis di dalam belahan dunia saat ini umumnya di dasarkan pada alasan tidak adanya pengakuan atas perbedaan kultur dan survivalitas ekonomi kelompok. Tidak adanya pengakuan terhadap budaya etnis tersebut diduga berkaitan dengan strategi pembangunan yang berorientasi pada kapitalisme sehingga memarginalisasikan perekonomian rakyat etnis. Selama ini distribusi dan penataan ekonomi dirasakan tidak adil.
Dalam istilah Garin Nugroho, terjadinya penghianatan atas kodrat yang merupakan talenta alami bangsa diduga kuat sebagai pemicu utama berbagai masalah mendasar yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia. Kodrat yang dikhianati itu salah satunya adalah multikulturalitas. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 6)
Indonesia adalah taman dunia. Seperti sebuah taman yang dipenuhi oleh berbagai macam jenis bunga, tumbuhan, dan binatang yang mendiaminya. Ini merujuk pada keanekaragaman Indonesia yang bukan saja terdiri dari 17.500 pulau yang dihubungkan oleh lautan tetapi juga kekayaan etnis, budaya, dan keyakinan. Sehubungan dengan hal tersebut, pelestarian nilai-nilai budaya daerah dengan upaya mencari, menggali, dan mengkaji serta mengaktualisasikan kearifan budaya tersebut merupakan modal dasar baru yang dapat digunakan untuk memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu, di tengah arus reformasi dewasa ini, idiom yang harus dijadikan basis strategi penguatan perekat simpul persatuan Indonesia adalah bhineka tunggal ika. Artinya, sekalipun satu, tidak boleh dilupakan bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda. Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat kemanunggalan (tuggal ika) yang potenisal bisa melahirkan kesatuan dan persatuan, melainkan pengakuan akan pluralitas (kebhinekaan). (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 14)
Sebagai bangsa, Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai etnis dan berada dalam keragaman budaya. Kemajemukan inilah yang kemudian membentuk suatu kebudayaan bernama Indonesia. Harus diingat, masyarakat dan kebudayaan baru itu bukanlah hasil persinggungan berbagai unsur budaya sehingga melahirkan apa yang kini disebut sebagai rakyat dan kebudayaan Indonesia. Melalui kreativitas, nilai-nilai budaya etnis yang kuat dan lentur akan terus memberikan kontribusi dalam proses pembentukan kebudayaan baru tersebut.
Bangkitnya semangat separatisme yang menggema hingga saat ini tidak lepas dari ketidakpedulian para pemimpin akan kemajemukan Indonesia. Selama tigapuluhan tahun pemerintahan Orde Baru, negara tidak mensyukuri rahmat Tuhan bagi bangsa ini dengan berupaya melakukan penyeragaman-penyeragaman kebudayaan daerah dengan gaya sentralistik. Sentralisasi kebudayaan tidak saja berdampak pada timbulnya berbagai kesenjangan, tetapi juga meminggirkan berbagai kantung-kantung kebudayaan daerah.
Nilai-nilai budaya yang ada seharunya dilihat sebagai bagian dari masa depan Indonesia dan dikembangkan secara kreatif. Sebab jika tidak, selain terus-menerus dipinggirkan, kantung-kantung kebudayaan itu akan berubah menjadi devensif.
Ketika sumpah diikrarkan oleh para pemuda tahun 1928 menjadi satu bangsa, satu negara, dan satu bahasa Indonesia, haruslah dilihat bukan sebagai penghapusan kekahasan, keunikan, dan kedaulatan budaya-budaya daerah. Penggabungan daerah-daerah ke dalam wadah bernama Indonesia itu dilakukan secara sukarela. Semangat sukarela itu kemudian menjadi semacam kontrak sosial yang murni karena di sana tidak ada paksaan.
Oleh karena itu, setiap daerah seharusnya dilihat sebagai bagaian yang utuh dari keindonesiaan, di mana setiap daerah memiliki hak dan kewajiban yang sama, dalam merekatkan persatuan dan kesatuan.Sangat tidak mudah memang, karena selama ini budaya seperti yang diutarakan budayawan Mohamad Sobary bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami kondisi kebudayaan yang patologis akibat campur tangan kekuasaan di masa lalu.
Sehingga terasa hampir tidak ada lagi nilai-nilai yang kita banggakan sebagai gambaran bangsa Indonesia yang ramah, beradab, mengedepankan kejujuran, serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur yang datang dari agama maupun budaya-budaya lokal.
Karena kebudayaan telah mengalami proses pengkerdilan menjadi sekedar alat legitimasi pengusa, untuk memulihkannya kembali memerlukan peningkatan kepercayaan diri. Ketidakberdayaan tradisi dalam menghadapi kekuatan-kekuatan dari luar dirinya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses kematian tradisi harus dicegah karena hal itu berarti sebuah proses penghilangan atas sumber identitas budaya bangsa. Dari berbagai penelitian terlihat bahwa proses kematian dan atau mematikan tradisi berakibat tragis pada masyarakat setempat. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 23)
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, pembahasan mengenai tradisi perlu diberi perhatian khusus. Pembahasan tradisi yang juga berarti pengkajian masyarakat memang bukanlah sesuatu yang beku dan kaku tetapi secara dinamis haris tampil dalam “ruh” baru. Keunikan dan kekhasan tradisi merupakan potensi yang dapat diolah untuk menembus budaya global masa kini. Bagaimana kita menghargai nilai-nilai kearifan lokal-tradisional kalau kita sendiri tidak mengenalnya. Padahal sekarang budaya kita berdampingan dengan budaya modern yang membawa nilai-nilai baru.
Ketakutan pada nilai-nilai yang datang beriringan dengan modernisasi dan globalisasi sebenarnya sudah tidak relevan. Menurut hemat saya, ketakutan itu lahir karena kita tidak mengenal dengan baik bagaimana kebudayaan atau tradisi kita sendiri mampu survive di tengah gempuran berbagai nilai yang datang dari luar. Proses persentuhan budaya lokal dengan tradisi-tradisi besar dunia telah melahirkan keragaman budaya nusantara yang lahir dari suatu proses “tawar-menawar”. Dalam proses itu, kearifan tradisional sangat berperan mendorong perubahan bagi terbentuknya keragaman budaya Nusantara.
Sesungguhnya apa yang sekarang dikenal dengan globalisasi bukanlah hal yang baru. Dalam modus dan skala yang berbeda, globalisasi dengan membawa budaya baru telah berulangkali terjadi di Nusantara. Dalam istilah Dennys Lombard disebut sebagai “proses pembaratan”. Bagi Lombard, proses pembaratan yang berlangsung sejak masuknya para penjajah tidak dengan serta merta merubah secara substansial kepribadian bangsa Indonesia. Bahkan, Raden Ajeng Karti, Soekarno, dan Ki Hajar Dewantara, “berlomba-lomba” kembali untuk menemukan nilai-nilai luhur yang tertanam dalam budaya dan tradisi nenek moyang mereka. Apa yang dikatakan Ki Hajar Dewantara yang dikutif Lombard perlu kita cermati di sini;
“Kita hidup seperti orang yang menumpang dalam hotel kepunjaan orang lain, tak mempunyai nafsu akan memperbaiki atau menghiasi rumah jang kita tempati, karena tidak ada perasaan bahwa rumah itu rumah kita. Dan pertjayalah, saudaraku semua, selama kita pada zaman ini berpisah kultur dengan rakjat asli, selama kita merendahkan bahasa kita, seni kita, keadaban kita, djanganlah kita mengharapkan akan dapat mendjauhkan anak-anak kita dari keinginannja hidup seperti Belanda-polan. Sebaliknja: kalau anak-anak kita dapat kita didik sebagai anak-anak bangsa kita, agar djiwanya bersifat nasional dan mereka itu dapat kembali memegang kultur bangsa awak, jang sejak abad jang lalu sudah tidak hidup lagi di dalam dunia kita, karena hidup kita seolah-olah hidup dalam perhambaan, pertjalah mereka itu akan merasa puas sebagai anak Indonesia. Dan kalau kita sudah membangkitkan pula hidup kebangsaan kita, tentulah alat-alat penghidupan asing jang berpaedah sadjalah jang kita ambil. Karena kita tida lagi mabuk tjinta dan pribahasa “tjinta itu buta” tidak lagi mengenai diri kita; achirnja kita lalu dapat memilih dengan fikiran dan rasa jang jernih.” (Dennys Lombard, 2008, h. 237)
 Konsep pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam budaya Jawa, yakni ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tutwuri handayani. 
Apa yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara tetap relevan untuk diteladani saat ini. Meski mendapatkan pendidikan Barat di masa itu, dia tidak terlepas dari akar dimana ia hidup dan perjuangkan. Di samping itu, Ki Hajar Dewantara telah menunjukkan bahwa bangsa kita memiliki nilai-nilai luhur yang sangat melimpah sebagai lentera yang menerangi jalannya kehidupan kita sebagai pribadi maupun perjalanan bangsa ini.
Dunia dengan kehidupan yang bernilai pada hakikatnya adalah perjalanan dari kumpulan makna hasil refleksi yang terus-menerus untuk harkan dan nilai kemanusiaan. Hanya dengan merefleksi kehidupan ini menjadi berarti dan layak dihidupi. Tanpa refleksi, ia menjadi perjalanan yang berlalu-lalang tanpa arti. Refleksi juga berarti menafsirkan. Menafsirkan juga berarti menemukan unsur terdalam yang menggerakkan yang dipermukaan. Khazanah budaya yang tersembunyi dan tersimpan memerlukan refleksi dan penafsiran ulang agar ia mendapat makna dari dunia yang memberi arti bagi kehidupan.
Menggali Keteladanan Kepemimpinan dalam Tradisi
“Sebuah bangsa” kata Goenawan Moehammad dalam kata pengantar Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang karya Onghokham, adalah sebuah bangunan yang tergopoh-gopoh mengejar dirinya sendiri.” Terutama di Dunia Ketiga, ketergopohan itu tersirat dalam kegagapannya untuk menyesuaikan nilai-nilai budayanya dengan kemajuan yang tengah diraih oleh bangsa-bangsa lain. (Onghokham, 2003, h. xi)
Kegagapan itu seringkali membuat kita mengalami rabun dekat. Suka meniru kemajuan yang diaraih bangsa lain yang sangat susah untuk digapai, sementara di satu sisi ogah melihat pada diri sendiri, untuk menemukan nilai-nilai luhur yang sebenarnya kaya hanya saja terlalu tidak percaya diri untuk mengakuinya.  
Dalam khazanah budaya-budaya etnis Nusantara, sangat melimpah butir-butir kearifan tradisi, yang jika diberi ruh baru dan direvitalisasi, akan memberi kontribusi dalam merekat persatuan dan kesatuan bangsa maupun menjawab tantangan global. Dengan demikian, yang  harus dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini dan kaum muda tentunya adalah meneguhkan kembali komitmen sebagai bangsa guna membangkitkan potensi yang terpendam guna menyongsong masa depan yang lebih baik dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kebersamaan antar etnis dalam semboyan “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”.
Jikalau nilai-nilai kearifan itu tidak dijaga dan dipelihara, maka sudah dipastikan lama-kelamaan dalam waktu yang tak terlalu jauh, kita akan mengalami proses pemunahan, termasuk di dalamnya sumber yang sangat berharga bagi pembentukan wacana kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Gurindram 12 karya Raja Ali Haji, mengingatkan betapa pentingnya adat-istiadat bagi eksistensi sebuah bangsa. “padat tembaga jangan dituang, kalau dituang melepuh jari, adat lembaga jangan dibuang, kalau dibuang binasa negeri”. (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 26)   
Selain itu keteladanan seorang pemimpin juga sangat dibutuhkan. Nilai-nilai kepemimpinan yang utama disampaikan oleh Karaeng Galesong, Raja Gowa yang menentang VOC di Sulawesi Selatan, yang kemudian membantu perlawanan Trunojoyo terhadap  Amangkurat I yang dibantu Belanda. Katanya;
ikambe juru mudia = wahai pemimpin
Jarrekti tannang gulinnu = perkuat pasang kemudimu
Nu tea lalo= jangan sekali-kali
Toali riminasannu = berpaling dari harapan
Punggawa teako jekkong = wahai pemimpin janganlah berbuat curang.”( (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, 26)
Kearipan lokal seperti contoh-contoh di atas tersebar dalam ranah dan napas masyarakat Indonesia. Dari Aceh sampai Papua terbentang kekayaan kearifan lokal tersebut. Sedangkan kerinduan akan kaearipan itu dari hari-kehari cenderung semakin meningkat.
Dalam masyarakat modern sekarang ini, memang terasa ada kerinduan akan nilai-nilai lama kearipan tradisi yang diharapkan bisa memberi jawaban atas kebutuhan masa kini terutama kepemimpinan yang pantas dijadikan suri-tauladan. Karena kekuatan terdahsyat seorang pemimpin adalah ketauladannya.
Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kepemimpinan dan kelembagaan tradisional adalah relevan sehingga perlu diaktualisasikan serta diimplementasikan. Berkaitan dengan itu, Schein mengatakan bahwa “Culture and leadership are really two sides of the same coin one can not understand one without the other”. Pendeknya pembangunan yang mengabaikan nilai-nilai budaya akan bermasalah karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat tersebut.( (Sultan Hamengku Buwono X, 2007, h. 27)
Nilai-nilai luhur itu sangat terang terpampang baik dalam seni-seni tradisional seperti Wayang, tari-tarian, hingga karya-karya sastra seperti yang terdapat dalam berbagai serat dan kanon. Dalam wayang misalkan, bagi masyarakat terutama masyarakat Jawa dianggap sebagai medium pewarisan nilai-nilai. Wayang tidak sekedar seni yang berfungsi sebagai hiburan dan tontonan semata, tetapi juga mempunyai makna dan simbol kehidupan manusia.
Wayang dengan segala keragamannya merupakan sebuah potret masyarakat. Sebagai sebuah potret kehidupan, dalam simbolisasai masyarakat wayang juga ada kebenaran dan kesalahan, ada kepicikan, ada tamak serakah, dan seluruh denyut kehidupan manusia juga terkafer dalam sebuah pentas wayang. Dengan demikian, wayang juga dapat dijadikan suri taudalan manusia karena di dalamnya terkandung suatu pergumulan antara yang benar dan yang salah, yang diakhiri dengan pihak yang benar.
Makna simbolis dari pertunjukan wayang mengandung arti filosofis, yakni: layar dan diterangi adalah dunia yang nyata dan wayangnya menggambarkan ciptaan Tuhan. Gedebok batang pisang yang dipergunakan untuk menyangga wayang dengan menancapkan cempurit wayang ke dalamnya menggambarkan permukaan dunia, Blencong atau lampu yang dipasang di atas dalang adalah lambang keserasian kehidupan dunia. (Anasom, 2004, h. 47)
Dalam lakon wayang “wahyu Cokroningrat” menggambarkan turunnya wahyu roda dunia, yakni wahyu penguasa dunia dan akhirat, terhadap beberapa ksatria yang tengah memperebutkan wahyu itu. Awalnya, wahyu itu turun pada diri seorang ksatria Astinaputra, Raden Lesmana Mandrakumara. Namun, wahyu itu tidak bertahan lama tinggal di sana, dan pindah pada Ksatria Parang Garuda, Raden Samba atau Wisnubrata. Dalam diri Raden Samba ini pun wahyu kekuasaan itu juga tidak bertahan lama, dan kemudian berpindah dan menetap pada diri Raden Angkawijaya atau Raden Abimanyu.
Alasan kenapa wahyu kekuasaan itu tidak bisa menetap pada diri Raden Lesmana dan Raden Samba karena hati kedua ksatria itu kurang suci. Raden Lesmana suka dimanja, kurang prihatinnya, suka berbohong dan berpoya-poya, dan memiliki sifat tercela lainnya. Demikian juga Raden Samba, ia memiliki watak yang tidak terpuji dan suka mengumbar nafsu-birahinya. Raden Abimanyu yang mampu menerima “wahyu Cokroningrat” itu dinilai oleh dewa mencukupi persyaratan yang telah ditentukan, yakni sembada (sepadan dengan kemampuannya), sepi ing pamrih (tidak memiliki pamrih atau ambisi), tulus pambegan (hati yang tulus ikhlas), jujur dan dadat dipercaya. Persyaratan itu jelas menunjukkan bahwa hanya kesucianlah tempat bersinggasananya wahyu kekuasaan. (Puji Santosa, 2010, h. 15)
Dalam kebudayaan Jawa, kekuasaan adalah energi ilahi yang tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Pada prinsipnya seluruh kekuasaan adiduniawi itu ada dimana-mana tapi ada tempatnya, yaitu pada benda dan manusia dengan pemusatan batin yang lebih tinggi. Kekuatan sakti itu disebut kasakten. Jadi, kekuatan politik adalah ungkapan kasakten sendiri. Kasakten atau biasa juga disebut “wahyu cokroningrat” ataupun “wahyu kedaton”, didapatkan melalui laku tapa dan semadi untuk memusatkan kekuatan kosmis itu.
Kekuasaan sejati seorang raja, terpanpang dari kesejahtraan dan kemakmuran rakyat, tidak terjadi bencana alam, pemberontakan, dan gejalaa-gejala negatif lainnya. Sebagaimana kekuasaan merupakan hasil kemampuan untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri. Begitu pula seorang raja dapat kehilangan kekuasaan apabila ia kehilangan kemampuan pemusatan itu. Tanda kekuasaan itu lemah apabila muncul kekacauan-kekacauan baik yang disebabkan oleh pemberontakan-pemberontakan maupun bencana alam, rasa tidak puas rakyat, dan kebejatan moral semakin merajalela.
Sebagaimana laku tapa dan samadi merupakan jalan untuk mencapai kasakten itu, begitu pula seorang penguasa kehilangan kasaktennya apabila ia mengikuti hawa nafsu dan mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya. Sikap itu oleh orang Jawa disebut pamrih. Manusia menunjukkan pamrihnya apabila ia mencari kenikmatan dan kekayaan pribadi. Penguasa yang menyerah pada pamrihnya berarti tidak lagi sanggup untuk menampung kekuasaan kosmis yang dimilikinya, melainkan menyerahkan diri pada nafu dan kepentingan pribadinya.
Seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menuruti hawa nafsunya, mengumpulkan kekayaan dan mencari hidup yang enak-enak saja, serta mulai menindas bawahan dan rakyatnya, menghisap mereka dan berlaku sewenang-wenang, singkatnya, seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan totalnya, dalam filsafat politik Jawa, dengan demikian mempersiapkan keruntuhannya. Ia memboroskan energi batin, semakin kasar dan semakin tergantung dari luar.
Menurut Anderson, pertentangan antara yang baik dan buruk dalam wayang harus dipahami sebagai pertentangan antara mereka yang bebas dari pamrih dan mereka yang membiarkan kekuasaannya menguap karena pamrih dan oleh karena itu akhirnya juga dikalahkan. Jadi, bahaya terbesar bagi kedudukan penguasa tidak datang dari luar melainkan dari batin penguasa sendiri. Kekuatan-kekuatan dari luar tidak dapat berbuat apa selama ia memuasatkan segala energi kosmis dalam dirinya sendiri, tetapi kehilangan kekebalannya apabila ia membiarkan kekuatannya menguap dengan mengejar kepentingan-kepentingan egonya. (Franz Magnis-Suseno, 1991, h. 98-105)
Filsafat politik Jawa tersebut masih relevan dijadikan nilai-nilai terkait bagaimana kekuasaan itu musti dijalankan. Secara teknis, barangkali konsep kekuasaan yang bersumber dari kekuatan adikodrati itu tidak lagi cocok dalam masyarakat demokratis saat ini. Namun, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam konsep kekuasaan itu akan terus relevan sebagai nilai ideal seorang pemimpin.
Apa yang diungkapkan dalam filsafat kekuasaan di atas juga berlaku kapan pun. Bahwa hanya pemimpin yang memiliki budi luhur, menjunjung moralitas, mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadinya, dan rela menderita demi rakyatnya adalah pemimpin yang akan bertahan baik di takhtanya maupun di hati rakyat banyak. Sementara raja atau presiden yang lalim, gemar menyiksa dan menyengsarakan rakyatnya, korup, dan mementingkan kepentingan dirinya, keluarga, dan kelompoknya, tidak akan bertahan dari takhta maupun dari hati rakyatnya. Sejarah mencatat bahwa semua kekuasaan yang dibangun dengan landasan kekerasan, kelaliman, dan korupsi, tidak akan pernah bertahan lama. 
Shindunata dalam novelnya Putri Cina, (2007) menggambarkan raja yang kehilangan wahyu kekuasaannya karena pamrih dan kelaliman dalam sosok Prabu Murhado, raja kerajaan Medan Kemulan Baru. Mulanya sang Prabu Murhado adalah raja yang sangat baik, kelakuannya memancarkan sifat tyas manis kang mantesi, (pribadinya mengantakan hati yang manis, baik, dan murah hati. Dia juga memancarkan pribadi ruming wicara kang mranani (meski sangat sederhana kata-katanya seperti wewangian yang menarik hati). Hal itu disebabkan karena wataknya sinembuh laku utama atau segala ucapannya adalah perbuatannya sekaligus.
Namun, tidak lama kemudian rakyat menyebut kerajaan mereka dengan kerajaan Pedang Kemulan yang bermakna rakyat selalu merasa tertekan dibawah kelaliman dan kekerasan penguasa. Rajanya disebut Prabu Amorco Sabdo, yang berarti raja yang menghianati kata-katanya sendiri. Kata-kata raja memang tak dapat dipercaya lagi, layaknya kata-kata pendeta yang suci bijaksana yang tak pernah berbohong kepada manusia (sabda pandhita ratu).
Janjinya untuk menyejahtrakan rakyat dan kehidupan keadilan tak pernah terlaksana. Raja tak pernah merasa bersalah kalau mereka berbohong. Gawatnya, sikap itu juga diikuti oleh pengikutnya. Mereka juga suka berbohong.
Maka jadilah negara Pedang Kemulan menjadi negara pembohong. Ini disebabkan karena raja tidak pernah merasa bersalah bahwa ia berbohong dan mengkhianati perkataannya sendiri. Raja sudah lupa bahwa martabatnya adalah ratu yang bila berjanji harus setulus dan sejujur seorang pandhita atau pendeta. Rakyat Pedang Kemulan tak lagi merasakan kebenaran janjinya. (Shindunata, 2007, h. 97)
Cerita Prabu Murhado atau Prabu Amorco Sabdo yang diceritakan Shindunata tersebut, barangkali adalah metafora yang tidak langsung berkaitan dengan pristiwa atau kejadian sejarah yang sebenarnya. Cerita tersebut barangkali penggambarannya tentang kekuasaan Presiden Soeharto. Di masa-masa awal pemerintahaannya, Presiden Soeharto sangat disanjung oleh rakyat, ia dianggap sebagai seorang pemimpin yang mampu menyejahtrakan rakyat, ketenangan dan kesukaannya mengumbar senyum dipercaya lahir dari pribadi yang baik dan bijaksana.
Namun, lama-kelamaan rakyat mersaka tertekan di bawah kekuasaan Presiden Soeharto yang menekankan stabilitas dan menghukum tanpa pengadilan yang fair bagi siapa saja yang mengkritik pemerintahannya. Pemerintahannya mulai boros oleh korupsi keluarga dan kroni-kroninya. Di akhir masa pemerintahannya, ia bagaikan selang air yang bocor dan oleh karena itu tidak lagi bisa dipakai untuk menyemprotkan air secara terarah dan penuh tekanan. Kekuasaannya tidak lagi efektif, karena pamrih atau nafsu pribadi dan keluarganya lebih dipentingkan daripada rakyatnya.
Oleh karena itu dalam filsafat Jawa sangat menekankan cita-cita mengenai, sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning bawana. Sepi ing pamrih memuat kerelaan untuk tidak lagi mengejar kepentingan-kepentingan sendiri tanpa perhatian terhadap masyarakat, rame ing gawe memuat arti kelakuan yang tepat dalam dunia, terdiri dalam kesetiaan memenuhi kewajiban masing-masing, yang berarti juga mamayu hayuning bawana, secara sederhana berarti memperindah dunia. (Franz Magnis-Suseno, 1991, h. 98-105)
Menurut saya, konsep kepemimpinan yang terkandung dalam sepi ing pamrih, rame ing gawe, mamayu hayuning bawana, citra yang dibutuhkan bangsa ini. Pemimpin-pemimpin yang menjalankan kekuasaannya dengan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, tugas dan tanggungjawab itu dilakukan dengan penuh keihlasan, kejujuran, dan berdedikasi, demi lahirnya keindahan tata sosial dengan mewujudkan kemakmuran dan kesejahtraan rakyat.
Seperti yang disebutkan dalam Serat Nitisruti, pupuh Pucung bait 19 disebutkan: “milanipun, bangkit nentremaken kayun, saking anggenira, bangkit merih arjaning bumi, de genira angraharjakken bawana” (maka dari itu, Engkau harus mampu meredekan kehendak dengan caranya mampu menciptakan kesejahtraan dan memakmurkan dunia). (Anasom, 2004, h. 106). Dalam ajaran Prabu Arjuna Sasrabahu disebut sebagai ngarsa dana upaya, yang berarti pemimpin sebagai seorang ksatria senantiasa berada terdepan dalam mengorbankan tenaga, waktu, materi, pikiran bahkan jiwanya sekalipun demi kesejahtraan dan kelangsungan hidup masyarakat. (HM.Nasruddin Anshory CH, 2008, h. 28)
Sebagai bangsa yang sangat majemuk dengan kekayaan nilai-nilai luhur, Indonesia tidak akan mengalami kekeringan nilai dan kebijaksanaan asalkan kita mau dan berupaya menggali nilai-nilai itu. Dari sejumlah konsep tentang kekuasaan, sebenarnya masih banyak konsep lain yang “membatasi” sehingga seorang raja tidak bisa bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan perintahnya.
Ungkapan bahwa raja harus berbudi bawa laksana ambeg adil para marta menyiratkan bahwa seorang raja harus dapat menciptakan keadilan dan keamanan rakyat dan negara seperti dalam ungkapan anjaga tata titi tentring praja. Dengan demikian, seharusnya seorang raja tidak hanya menjadi penghukum, tetapi juga menjadi penegak hukum sebagai manifestasi dari upaya menegakkan  keadilan.
Berpegang pada konsep semacam itu, seorang penguasa harus bijaksana dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Kebijaksanaan itu lebih sering ditampilkan sebagai mampu mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi situasi. Dalam serat Nitisruthi, pupuh Pucung, bait 28 juga disebutkan, “sang sinuwun, denira mantrapken hukum, adil awarata, prasasat samodra agni, nadyan aneng, siluk sungil kawasesa, (Sang raja, dalam menerapkan hukum, harus dilaksanakan seadil-adilnya, ibarat lautan api, kemanapun yang salah tetap dihukum). (Anasom, 2004, h. 109).
Keadilan itu ditunjukkan dengan tidak memandang siapa pun dalam menghukum. Meskipun terdakwa adalah keluarga raja, namun terbukti bersalah maka ia harus tetap mendapat hukuman. Dalam serat Nistisruti, pupuh Kinanti, bait 2 disebutkan; “sanadyang sanak sadulur, yen durjana den pateni, saari ratri nora sah, titipriksa ngosak-asik, salwiring kang solah salah, tinesan tanpa lirip (walau sanak saudara sendiri, bila penjahat dibunuhnya, siang malam tiada henti, meneliti dan memperhatikan, semua yang berbuat jahat, dihabisi tanpa sisia) (Anasom, 2004, h. 109).
Meskipun dalam konteks kerajaan, seorang raja dianggap sebagai pusat jagat raya atau sebagai wakil Tuhan di muka, sehingga perintahnya adalah perintahan ketuhanan dan membangkang kepadanya sama dengan membangkang kepada Tuhan. Hal itu tidak berarti bahwa seorang raja bisa bertingkahlaku sekehendak hatinya. Dalam filsafat politik Jawa, secara ideal dalam kekuasaan sudah inharen mengandaikan etika dan moralitas. Karena dalam  konsep itu, seorang raja tidak akan memiliki kekuasaan yang sejati selama ia belum mampu menguasai hasrat atau nafsu pribadinya.
Nilai-nilai filosofis yang tersimpan dalam berbagai serat dan kisah pewayangan juga mengajarkan bahwa kekuasaan itu tidak bisa diraih secara mudah. Melainkan dicapai dengan terlebih dahulu melakukan tapa berata, sukses melampaui berbagai rintangan dan pantangan yang berkaitan dengan hasrat duniawi, bersih hati, dan berbudi luhur. Dalam cerita Mahabarata, dikisahkan bahwa Bima dalam rangka persiapan perang agung Bratayuda antara kaum Pandawa dan Kurawa. Gurunya Panditha Durna yang dalam perang Bratayuda itu menjadi guru rohani para Kurawa memerintahkan Bima untuk mencari air hidup yang terdapat dalam gua Condromuko di sebuah hutan belantara. Bima berangkat tanpa mencurigai perintah itu meski sudah dilarang oleh para saudaranya. Di tengah hutan, ia menebang semua pohon untuk menemukan air hidup itu. Perbuatannya membuat kemarahan dua raksasa penunggu hutan dan sesudah perkelahian hebat dengan kedua raksasa itu Bima berhasil membunuh kedua-duanya dan sekaligus berhasil membebaskan kedua raksasa tersebut dari kutukan Batara Guru. Mereka kemudian berubah kembali ke wujud semula menjadi Dewa Indra dan Bayu dan dengan rasa terimakasih memberitahu kepada Bima bahwa air hidup itu tidak bisa ditemukan di dalam hutan.
Bima kembali kepada Durna yang kemudian menjelaskan bahwa air hidup itu bisa ditemukan di dasar Samudra. Meski mulai curiga dengan penjelasan itu, Bima tetap pergi untuk menemukan air hidup itu. Setelah perjalanan panjang, Bima sampai di tengah pantai dan langsung menyeburkan diri ke tengah samudra. Di sana Bima di serang oleh raksasa Nemburnawa namun berhasil ia kalahkan. Dalam keadaan sunyi sepi di tengah samudra itu tiba-tiba muncul wujud kecil mirip dengan Bima yang memperkenalkan diri sebagai Dewaruci, yang merupakan penjelmaan yang maha kuasa sendiri. Ia mengajak Bima untuk memasuki batinnya melalui telinga kirinya. Di dalam batin Dewaruci itulah Bima ternyata menemukan air kehidupan itu atau kesempurnaan jiwa. Dewaruci adalah dimensi batin ketuhanan yang terdapat dalam hati Bima. Hal itu memberi pelajaran bahwa kesempunaan itu tidak didapatkan melalui benda-benda duniawi yang digambarkan dalam air kehidupan itu, namun melalui kebenaran yang terdapat dalam batin seseorang.
Dalam konteks kepemimpinan, setelah mencapai realitas hidup yang terdalam itu, Bima menjadi penguasa seluruh bumi. Secara filosofis kisah Bima itu menunjukkan bahwa kesempurnaan yang mengantarkannya sebagai seorang raja atau penguasa seluruh jagad diraihnya dengan berat dan dalam kepayahan melawan berbagai rintangan dan cobaan. Hutan belantara dan kedua raksasa itu menjadi pelajaran bagi kira semua bahwa kekerasan duniawi itu harus mampu dilawan demi mencapai cita-cita tertinggi, yang dalam kisah Bima, dapat disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti.
Dalam etika kepemimpinan, konsep manunggaling kawula Gusti itu dapat juga berarti bahwa seorang pemimpin harus bersatu dengan rakyat, bersatu untuk merasakan kegetiran hidup  yang dialami rakyat, bukan hanya berada di atas singgasana  kebesaran dengan para dalang-dalang disekelilingnya. (G. Budi Subanar, 2010, h. 84).
Dalam iklim demokrasi seperti saat ini, konsep manunggaling kawula Gusti seperti yang disampaikan Budi Subanar tersebut sangat relevan, karena kekuasaan itu bukan sesuatu yang datang secara langsung dari kekuatan adikodrati (Tuhan), melainkan dari segenap warganegara. Sehingga slogan “suara rakyat adalah suara Tuhan” tepat dalam konteks ini. Jadi, penguasa harus manunggal dengan Tuhan yang dipersonifikasi dalam umatnya, atau rakyat banyak.
Nilai-nilai luhur yang bersumber dari kedalaman budaya dan tradisi bangsa ini tidak bisa dipungkiri sungguh sangat kaya. Namun, kedangkalan hati kita untuk secara sadar dan menggali nilai itu membuat seakan kita tak mempunyai dasar atau sumber rujukan dalam melihat dan mencecap realitas yang terus berubah ini.
Oleh karena itu, kesadaran utama lainnya yang harus tertambat dalam lubuk hati dan batok kepala kaum muda adalah kesadaran kebudayaan. Jika pemuda sudah merasa malas terlebih tidak percaya diri untuk menengok sejenak pada warisan-warisan tradisi dan budaya bangsa demi melecat kencang ke masa depan, maka dalam hal ini kita patut pesimis pada nasib bangsa ini di masa kemudian.
Kaum muda adalah harapan bangsa hari ini, untuk merefleksi dan menafsirkan masa lalu dan realitas hari ini demi kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa mendatang.



Daftar Rujukan
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya – Batas-Batas Pembaratan, (Jakarta: Gramedia, 2008), Cet. 4, 
Franz Magnis-Suseno, Etika Kebangsaan-Etika Kemanusiaan,  (Yogyakarta: Kanisius, 2012), cet. 5,
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1991), cet. 5.
G. Budi Subanar, Manunggaling Kawula-Gusti Dalam Transisi; Potret Dunia Jawa dari Yogyakarta. Dalam kumpulan essai “Sesudah Filsafat”, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), cet. 5
Onghokham, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang, (Jakarta: PDAT Tempo, 2003), cet. 1
Shindunata, Putri Cina, (Jakarta: Gramedia, 2007),
HM. Nasruddin Anshory CH, Neopatriotisme; Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 2008), cet. 1, h. 24
Puji Santosa, Kekuasaan Zaman Edan; Derajat Negara Tanpak Sunya-Ruri, (Yogyakarta: Pararaton, 2010) Cet. 1
(ed) Anasom, Membangun Negara Bermoral; Etika Bernegara dalam Naska Klasik Jawa-Islam, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2004), cet. 1,
Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, (Jakarta: Gramedia, 2007),
Kuntowijoyo, Buaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), cet. 1 
Hendra Nurtjahjo, S.H., M.Hum, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), Cet. 2
Benget Silitonga, Kratos Minus Demos; Demokrasi Indonesia, Catatan dari Bawah, (Medan: Bakumsu, 2012) Cet. 1,
Denny J. A., Visi Indonesia Baru Setelah Reformasi 1998, (Yogyakarta; LKIS, 2006) Cet. 1
Komaruddin Hidayat, Politik Panjat Pinang; Di mana Peran Agama (Jakarta: Kompas, 2006) Cet. 1
F. Budi Hardiman, Filsafat Pragmentaris, (Yogyakarta, Kanisius, 2011) cet. 5
Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik, (Jakarta: Kompas, 2004), Cet. 4
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Moderniasme, (Jakarta: Mizan, 1998), Cet. 1,
Rocky Gerung, Kita dan Politik. Dalam kata pengantar Kembalinya Politik; Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rend sampai (z)izek.
M. Alfan Alfian, Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 194.
Mourizio Passerin d’Entreves, Filsafat Politik Hannah Arendt, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), cet. 1,
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1988), cet. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar