Oleh: Losse
Beberapa
waktu yang lalu kita menyaksiskan pra pengrajin tahu-tempe melakukan mogok
produksi dikarenakan harga kedelai sebagai bahan pokok produksi mengalami
peningkatan harga yang sangat signifikan. Kenaikan harga tersebut disebabkan
tidak lain oleh kemarau panjang yang dialami Amerika Serikat sebagai produsen
utama kedelai sehingga produksi kedelai AS mengalami penurunan dan ketersediaan
kedelai di pasar internasional juga ikut menurun.
Hal
tersebut harusnya menjadi pelajaran bahwa kita tidak bisa selamanya
mengandalkan pasar internasional atau impor sebagai jalan mencukupi kebutuhan
dalam negeri. Karena ketersediaan suatu komuditas pangan di pasar internasional
sangat tergantung pada kondisi politik dan ekologis negara-negara produsen.
Jika produksi komoditas pangan di suatu negara mengalami kendala diakibatkan
faktor-faktor ekologis seperti kekeringan, kebakaran, atau gagal panen, serta
faktor-faktor politik seperti kebijakan pengetatan ekspor dan lain sebagainya,
maka hal itu akan sangat mempengaruhi ketersediaan komoditas pangan di pasar
internasional dan ini berpotensi melahirkan krisis pangan.
Sebagian besar negara-negara
mengurangi ekspor pangannya untuk berbagai kepentingan. Salah satu contoh
kebijakan pengetatan ekpor pangan adalah konversi pangan menjadi bahan bakar
nabati (biofuel) yang dilakukan oleh beberapa negara. Konversi pangan menjadai
biofuel ini akan menyebabkan pasokan pangan di pasar dunia menurun sehingga
harganya menjadi naik dan ini tentunya berpotensi melahikan kerawanan dan
krisis pangan.
Oleh
karena itu, bangsa ini sudah tidak bisa menunda lagi mewujudkan kedaulatan
pangannya. Kebutuhan pangan kita harus mampu terpenuhi dari produksi sendiri.
Membangun kedaulatan pangan merupakan strategi terbaik untuk keluar dari krisis
pangan. Sebagai negara agraris dan negara maritime, dengan keberagaman sumber
daya hayati (biodiversity), Indonesia berpotensi besar untuk memproduksi
pangan dalam jumlah yang cukup. Selain itu, Indonesia mempunyai aneka pangan
lokal untuk mendukung diversifikasi pangan nasional. Denga demikian, tidak ada
alasan lagi Indonesia tidak mampu mewujudkan kedaulatan pangan.
Istilah
ini dideklarasikan tahun 1996 dari organisasi buruh tani dan petani kecil
dunia, La Via Compasina. Kedaulatan pangan (food sovereignty)
didefinisikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk menentukan
kebijakan pangan sendiri dengan memperiotitaskan produk pangan lokal untuk
kebutuhan sendiri, serta melarang praktik perdagangan pangan dengan cara dumping.
Dalam paradigma ini, setiap negara berhak menentukan dan mengendalikan
sistem produksi, distribusi, dan konsumsi pangan sendiri, sesuai dengan kondisi
ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya lokal, serta bebas dari campur tangan
negara lain.
Kedaulatan
pangan dengan demikian adalah hak asasi manusia untuk pemenuhan kebutuhan
pangannya, hak untuk menentukan hidup sendiri, hak masyarakat adat menentukan
wilayah, dan hak masyarakat desa untuk memproduksi kebutuhan lokal dan pasar
national. Kedaulatan pangan mempertahankan pertanian dan kehadiran petani,
mempertahankan perikanan dengan keluarga nelayan tradisional, hutan dengan
komunitas pinggiran hutan, pengembala dengan kehidupan padang rumput. Karenanya
kedaulatan pangan menyentuh hingga ke martabat dan harga diri suatu bangsa.
Kedaulatan
pangan merupakan alternative kebijakan dari kebijakan pasar bebas sehingga
pangan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan
nasional. Oleh karena itu konsep kedaulatan pangan tidak hanya menekankan pada
tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup dan baik, tapi juga harus diproduksi
melalui metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis dan
berkelanjutan, serta hak masyarakat untuk mendefinisikan sistem pangan dan
pertaniannya yang sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, dan budaya lokal
masyarakat.
Selama
ini, pangan di Indonesia sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Ini akibat
buruk syarat pinjaman dari IMF (Dana Moneter Internasional) tahun 1998. Negara
tak lagi berdaulat mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi pangan. Berbagai
kebijakan pro pasar dikeluarkan pemerintah tanpa mempedulikan nasib petani,
nelayan, dan komunita-komunitas lokal lainnya. Misalnya pengurangan subsidi
benih, pupuk, pengairan, pengurangan tarif bea impor bahan pangan pokok, dan
merubah status Bulog (Badan Urusan Logistik). Sebagian besar bahan pangan
(kedeali, jagung, dan beras) berasal dari bahan impor yang murah karena petani
di luar negeri mendapat banyak subsidi. Sementara subsidi petani kita terus
dikurangi sehingga ongkos produksi menjadi naik. Alhasil, produksi pangan dalam
negeri kalah bersaing dengan pangan impor. Petani pun enggan bertani. Akibatnya
produksi dalam negeri tak cukup dan semakin menguntungkan pada impor. Ketika
harga pangan dipasar naik yang mekanismenya dikontrol segelintir perusahaan
multinasional, harga di Indonesia juga ikut melambung. Masyarakat miskin makin
kesulitan memenuhi pangannya. Jumlah penduduk kelapran, kurang gizi, busung
lapar, dan mati karena kelaparan semakin meningkat.
FAO
(2008) memperkirakan lebih dari 500 juta dari 800 juta orang yang mengalami
kelaparan dan kurang gizi di dunia tinggal di Asia. Ironisnya, sebagian besar
dari 500 juta orang ini adalah mereka yang menghasilkan pangan atau dengan kata
lain, orang yang menghasilkan pangan tak mampu mencukupi pangannya sendiri.
Sebagai
hak asasi manusia, pangan adalah komoditas yang sensitif dan politis. Oleh
karena itu pemenuhannya tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
Pemerintah mengemban kewajiban untuk mengontrolnya. Pertanian lokal harus
diberdayakan agar pangan dicukupi dari dalam negeri. Subsidi dalam bidang
pertanian harus ditambah agar harga pangan lokal mampu bersaing dengan pangan
impor. Sistem pertanian lokal dengan keanekaragaman hayatinya juga terbukti
lebih unggul dari sistem pertanian konvensional yang justru merusak lingkungan
dan mengurangi produksi dalam jangka panjang.
Agar
berdaulat pangan, petani harus bebas menentukan sendiri tanaman yang ingin
ditanam untuk memenuhi pangannya. Namun bagaimana bisa berdaulat pangan jika
hak petani atas tanah, benih, air, akses kepada pasar, kredit lunak, atau
subsidi diberangus oleh pemerintah dan perusahaan multinasional.
Untuk
merealisasikan kedaulatan pangan, ada tujuh prinsip yang harus diperhatikan;
1.
Hak akses
terhadap pangan yang aman, sehat dan sesuai budaya sebagai hak dasar manusia
harus dijamin melalui konstitusi.
2.
Reforma
agrarian yang menjamin hak atas tanah oleh petani yang bebas dari dikriminasi
gender, agama, kepercayaan, suku, kelas sosial, dan juga ideologi.
3.
Perlindungan
sumber daya alam. Petani mempunyai hak untuk mempraktekkan pengelolaan sumber
daya alam secara berkelanjutan dan konservasi keanekaragaman hayati yang bebas
dari rezim atau hak atas kekayaan intelektual.
4.
Reorganisasi
sistem pangan baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
5.
Pangan perlu
ditempatkan kembali sebagai pangan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi manusia,
bukan sebagai komoditas perdagangan pasar bebas.
6.
Mengakhiri
kelaparan dunia dengan membatasi pengendalian komoditas pangan oleh korporasi
multinasional.
7.
Pangan tidak
boleh dijadikan sebagai senjata dan petani kecil harus dijamin untuk
mendapatkan akses dalam formulasi kebijakan pertanian pada semua tingkat.
Dalam
konsep ini, masyarakat menguasai sumber daya yang menghasilkan pangan, dan juga
teknologi di belakang produksi pangan. Distribusi yang setara atas lahan
pertanian dan air, kontrol petani atas benih, dan usaha tani atas skala kecil
produktif yang mensuplai konsumen dengan pangan yang sehat dan locally grouwn. Dengan demikian,
kesejahtraan, kemandirian, dan ketahanan akan terwujud di tingkat lokal.
Ada beberapa
prinsip yang menjadi langkah-langkah strategis menguatkan basis kedaulatan dan
kemandirian pangan nasional. Pengelolaan pertanian merupakan persoalan yang
kompleks sehingga membutuhkan jalan keluar yang juga tidak sederhana, namun
langkah-langkah strategis ini setidaknya memberikan gambaran bagaimana dan
darimana kedaulatan pangan itu harus dimulai;
1.
Mengamankan
penyediaan komoditas pangan terutama pangan pokok. Empat faktor yang harus
disinergikan adalah; jumlah pangan pokok yang diproduksi dan sarana
produksinya; jumlah penduduk dan prilaku konsumsi yang mendukung; teknologi
produksi yang sesuai dan; kebijakan dan kelembagaan yang tepat sasaran.
Beberapa isu pokok untuk mencapai konvergensi ini adalah;
a.
Reforma agraria
secara konsisten sesuai mandat yang telah digariskan oleh Undang-Undang.
b.
Membuka lahan
baru untuk mencukupi penyediaan pangan nasional di luar Jawa. Lahan ini
dikelola sebagai penyediaan lahan baku pada pengelolaan pangan dengan
menggunakan keragman komoditas unggulan setempat.
c.
Kemudahan untuk
memperoleh sarana produksi, perbaikan jaringan irigasi, aksesibilitas jalan
yang rusak untuk lahan baru atau yang sudah lama dikerjakan masyarakat. Sebagai
contoh kedaulatan petani atas benih baik dalam pengembangan maupun
pendistribusian melalui pembangunan bank benih lokal yang diinisiasi dan
dikelola petani merupakan butir kebijakan yang harus diprioritaskan.
d.
Mengintegrasikan
upaya-upaya peningkatan pengentasan kemiskinan dengan akses terhadap proses peningkatan
pendidikan, perbaikan gizi, dan kesehatan. Pertumbuhan kegiatan ekonomi dan
penciptaan income merupakan langkah paling logis untuk meningkatkan
akses ekonomi terhadap pangan. Langkah awalnya dapat dimulai dengan upaya
akselerasi pembangunan pedesaan dengan fokus kepentingan golongan pendapatan
rendah. Untuk itu penguatan kapasitas daerah, kelembagaan lokal dan kelembagaan
petani merupakan suatu keharusan.
e.
Untuk
menumbuhkan pendapatan dalam rangka menjamin akses, diperlukan dukungan riset
dengan arah untuk memunculkan pangan alternatif/produk bernilai tersebut yang
mampu berperan sebagai pangganti impor dan mampu berperan sebagai produk
ekspor, serta membangun kebiasaan pangan masyarakat berbasis pada sumber daya
lokal yang unggul
2.
Mengintegrasikan
starategi diversifikasi pangan dngan pengembangan teknologi pangan yang lebih
membumi dan terjangkau masyarakat luas.
3.
Membangun
potensi dan keunggulan lokal serta teknologi untuk pembangunan pertanian dan
pendekatan dengan klaster. Melalui strategi ini diharapkan tumbuh langkah
sinergis yang menguntungkan semua pihak dan pada akhirnya bermuara dalam
penguatan kemandirian bangsa.
4.
Penciptaan
kondisi yang mendukung yang ditandai dengan reposisi pemikiaran dan peran
perguruan tinggi, lembaga pemerintahan dan swasta dalam pembangunan pertanian
dan desa.
5.
Meninjau
kembali posisi Indonesia dalam kesepakatan internasional yang terkait dengan
pangan dan pertanian yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip kedaulatan pangan.
6.
Membangun
jaraingan dan pengelolaan pengetahuan untuk kedaulatan pangan yang melintasi
lembaga di tingkat pusat, daerah, dan lokal dengan fokus utama pada tingkat
kecukupan pangan dan tingkat kecukupan gizi masyarakat. Informasi ini penting
untuk mendistribusikan pangan ke daerah defisit, memberi bantuan langsung, dan
membuka peluang kerja.
7.
Dari sisi
penumbuhan suplai, kebijakan peningakatan produksi pangan ke depan tidak lagi
bertumpu pada produksi beras, namun produksi aneka pangan dengan berorientasi
mengembangkan komoditas pangan lokal. Dalam jangka pendek diperlukan insentif
produksi, pemasaran dan teknologi pasca panen bagi petani. Khususnya untuk
produk umbi-umbian, pangan hewani, sayuran, dan buah, serta kacang-kacangan
yang tingkat konsumsinya masih rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar