Jumat, 20 Desember 2013

Langkah-Langkah Strategis Menuju Kedaulatan Pangan


Oleh: Losse
Beberapa waktu yang lalu kita menyaksiskan pra pengrajin tahu-tempe melakukan mogok produksi dikarenakan harga kedelai sebagai bahan pokok produksi mengalami peningkatan harga yang sangat signifikan. Kenaikan harga tersebut disebabkan tidak lain oleh kemarau panjang yang dialami Amerika Serikat sebagai produsen utama kedelai sehingga produksi kedelai AS mengalami penurunan dan ketersediaan kedelai di pasar internasional juga ikut menurun.
Hal tersebut harusnya menjadi pelajaran bahwa kita tidak bisa selamanya mengandalkan pasar internasional atau impor sebagai jalan mencukupi kebutuhan dalam negeri. Karena ketersediaan suatu komuditas pangan di pasar internasional sangat tergantung pada kondisi politik dan ekologis negara-negara produsen.
Jika produksi komoditas pangan di suatu negara mengalami kendala diakibatkan faktor-faktor ekologis seperti kekeringan, kebakaran, atau gagal panen, serta faktor-faktor politik seperti kebijakan pengetatan ekspor dan lain sebagainya, maka hal itu akan sangat mempengaruhi ketersediaan komoditas pangan di pasar internasional dan ini berpotensi melahirkan krisis pangan.
Sebagian besar negara-negara mengurangi ekspor pangannya untuk berbagai kepentingan. Salah satu contoh kebijakan pengetatan ekpor pangan adalah konversi pangan menjadi bahan bakar nabati (biofuel) yang dilakukan oleh beberapa negara. Konversi pangan menjadai biofuel ini akan menyebabkan pasokan pangan di pasar dunia menurun sehingga harganya menjadi naik dan ini tentunya berpotensi melahikan kerawanan dan krisis pangan.
Oleh karena itu, bangsa ini sudah tidak bisa menunda lagi mewujudkan kedaulatan pangannya. Kebutuhan pangan kita harus mampu terpenuhi dari produksi sendiri. Membangun kedaulatan pangan merupakan strategi terbaik untuk keluar dari krisis pangan. Sebagai negara agraris dan negara maritime, dengan keberagaman sumber daya hayati (biodiversity), Indonesia berpotensi besar untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup. Selain itu, Indonesia mempunyai aneka pangan lokal untuk mendukung diversifikasi pangan nasional. Denga demikian, tidak ada alasan lagi Indonesia tidak mampu mewujudkan kedaulatan pangan.
Istilah ini dideklarasikan tahun 1996 dari organisasi buruh tani dan petani kecil dunia, La Via Compasina. Kedaulatan pangan (food sovereignty) didefinisikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk menentukan kebijakan pangan sendiri dengan memperiotitaskan produk pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, serta melarang praktik perdagangan pangan dengan cara dumping. Dalam paradigma ini, setiap negara berhak menentukan dan mengendalikan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi pangan sendiri, sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya lokal, serta bebas dari campur tangan negara lain.
Kedaulatan pangan dengan demikian adalah hak asasi manusia untuk pemenuhan kebutuhan pangannya, hak untuk menentukan hidup sendiri, hak masyarakat adat menentukan wilayah, dan hak masyarakat desa untuk memproduksi kebutuhan lokal dan pasar national. Kedaulatan pangan mempertahankan pertanian dan kehadiran petani, mempertahankan perikanan dengan keluarga nelayan tradisional, hutan dengan komunitas pinggiran hutan, pengembala dengan kehidupan padang rumput. Karenanya kedaulatan pangan menyentuh hingga ke martabat dan harga diri suatu bangsa.
Kedaulatan pangan merupakan alternative kebijakan dari kebijakan pasar bebas sehingga pangan diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan nasional. Oleh karena itu konsep kedaulatan pangan tidak hanya menekankan pada tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup dan baik, tapi juga harus diproduksi melalui metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis dan berkelanjutan, serta hak masyarakat untuk mendefinisikan sistem pangan dan pertaniannya yang sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, dan budaya lokal masyarakat.
Selama ini, pangan di Indonesia sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Ini akibat buruk syarat pinjaman dari IMF (Dana Moneter Internasional) tahun 1998. Negara tak lagi berdaulat mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi pangan. Berbagai kebijakan pro pasar dikeluarkan pemerintah tanpa mempedulikan nasib petani, nelayan, dan komunita-komunitas lokal lainnya. Misalnya pengurangan subsidi benih, pupuk, pengairan, pengurangan tarif bea impor bahan pangan pokok, dan merubah status Bulog (Badan Urusan Logistik). Sebagian besar bahan pangan (kedeali, jagung, dan beras) berasal dari bahan impor yang murah karena petani di luar negeri mendapat banyak subsidi. Sementara subsidi petani kita terus dikurangi sehingga ongkos produksi menjadi naik. Alhasil, produksi pangan dalam negeri kalah bersaing dengan pangan impor. Petani pun enggan bertani. Akibatnya produksi dalam negeri tak cukup dan semakin menguntungkan pada impor. Ketika harga pangan dipasar naik yang mekanismenya dikontrol segelintir perusahaan multinasional, harga di Indonesia juga ikut melambung. Masyarakat miskin makin kesulitan memenuhi pangannya. Jumlah penduduk kelapran, kurang gizi, busung lapar, dan mati karena kelaparan semakin meningkat.
FAO (2008) memperkirakan lebih dari 500 juta dari 800 juta orang yang mengalami kelaparan dan kurang gizi di dunia tinggal di Asia. Ironisnya, sebagian besar dari 500 juta orang ini adalah mereka yang menghasilkan pangan atau dengan kata lain, orang yang menghasilkan pangan tak mampu mencukupi pangannya sendiri.
Sebagai hak asasi manusia, pangan adalah komoditas yang sensitif dan politis. Oleh karena itu pemenuhannya tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Pemerintah mengemban kewajiban untuk mengontrolnya. Pertanian lokal harus diberdayakan agar pangan dicukupi dari dalam negeri. Subsidi dalam bidang pertanian harus ditambah agar harga pangan lokal mampu bersaing dengan pangan impor. Sistem pertanian lokal dengan keanekaragaman hayatinya juga terbukti lebih unggul dari sistem pertanian konvensional yang justru merusak lingkungan dan mengurangi produksi dalam jangka panjang.
Agar berdaulat pangan, petani harus bebas menentukan sendiri tanaman yang ingin ditanam untuk memenuhi pangannya. Namun bagaimana bisa berdaulat pangan jika hak petani atas tanah, benih, air, akses kepada pasar, kredit lunak, atau subsidi diberangus oleh pemerintah dan perusahaan multinasional.
Untuk merealisasikan kedaulatan pangan, ada tujuh prinsip yang harus diperhatikan;
1.      Hak akses terhadap pangan yang aman, sehat dan sesuai budaya sebagai hak dasar manusia harus dijamin melalui konstitusi.
2.      Reforma agrarian yang menjamin hak atas tanah oleh petani yang bebas dari dikriminasi gender, agama, kepercayaan, suku, kelas sosial, dan juga ideologi.
3.      Perlindungan sumber daya alam. Petani mempunyai hak untuk mempraktekkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan konservasi keanekaragaman hayati yang bebas dari rezim atau hak atas kekayaan intelektual.
4.      Reorganisasi sistem pangan baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
5.      Pangan perlu ditempatkan kembali sebagai pangan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi manusia, bukan sebagai komoditas perdagangan pasar bebas.
6.      Mengakhiri kelaparan dunia dengan membatasi pengendalian komoditas pangan oleh korporasi multinasional.
7.      Pangan tidak boleh dijadikan sebagai senjata dan petani kecil harus dijamin untuk mendapatkan akses dalam formulasi kebijakan pertanian pada semua tingkat.
Dalam konsep ini, masyarakat menguasai sumber daya yang menghasilkan pangan, dan juga teknologi di belakang produksi pangan. Distribusi yang setara atas lahan pertanian dan air, kontrol petani atas benih, dan usaha tani atas skala kecil produktif yang mensuplai konsumen dengan pangan yang sehat dan locally grouwn. Dengan demikian, kesejahtraan, kemandirian, dan ketahanan akan terwujud di tingkat lokal.
Ada beberapa prinsip yang menjadi langkah-langkah strategis menguatkan basis kedaulatan dan kemandirian pangan nasional. Pengelolaan pertanian merupakan persoalan yang kompleks sehingga membutuhkan jalan keluar yang juga tidak sederhana, namun langkah-langkah strategis ini setidaknya memberikan gambaran bagaimana dan darimana kedaulatan pangan itu harus dimulai;
1.      Mengamankan penyediaan komoditas pangan terutama pangan pokok. Empat faktor yang harus disinergikan adalah; jumlah pangan pokok yang diproduksi dan sarana produksinya; jumlah penduduk dan prilaku konsumsi yang mendukung; teknologi produksi yang sesuai dan; kebijakan dan kelembagaan yang tepat sasaran. Beberapa isu pokok untuk mencapai konvergensi ini adalah;
a.       Reforma agraria secara konsisten sesuai mandat yang telah digariskan oleh Undang-Undang.
b.      Membuka lahan baru untuk mencukupi penyediaan pangan nasional di luar Jawa. Lahan ini dikelola sebagai penyediaan lahan baku pada pengelolaan pangan dengan menggunakan keragman komoditas unggulan setempat.
c.       Kemudahan untuk memperoleh sarana produksi, perbaikan jaringan irigasi, aksesibilitas jalan yang rusak untuk lahan baru atau yang sudah lama dikerjakan masyarakat. Sebagai contoh kedaulatan petani atas benih baik dalam pengembangan maupun pendistribusian melalui pembangunan bank benih lokal yang diinisiasi dan dikelola petani merupakan butir kebijakan yang harus diprioritaskan.
d.      Mengintegrasikan upaya-upaya peningkatan pengentasan kemiskinan dengan akses terhadap proses peningkatan pendidikan, perbaikan gizi, dan kesehatan. Pertumbuhan kegiatan ekonomi dan penciptaan income merupakan langkah paling logis untuk meningkatkan akses ekonomi terhadap pangan. Langkah awalnya dapat dimulai dengan upaya akselerasi pembangunan pedesaan dengan fokus kepentingan golongan pendapatan rendah. Untuk itu penguatan kapasitas daerah, kelembagaan lokal dan kelembagaan petani merupakan suatu keharusan.
e.       Untuk menumbuhkan pendapatan dalam rangka menjamin akses, diperlukan dukungan riset dengan arah untuk memunculkan pangan alternatif/produk bernilai tersebut yang mampu berperan sebagai pangganti impor dan mampu berperan sebagai produk ekspor, serta membangun kebiasaan pangan masyarakat berbasis pada sumber daya lokal yang unggul
2.      Mengintegrasikan starategi diversifikasi pangan dngan pengembangan teknologi pangan yang lebih membumi dan terjangkau masyarakat luas.
3.      Membangun potensi dan keunggulan lokal serta teknologi untuk pembangunan pertanian dan pendekatan dengan klaster. Melalui strategi ini diharapkan tumbuh langkah sinergis yang menguntungkan semua pihak dan pada akhirnya bermuara dalam penguatan kemandirian bangsa.
4.      Penciptaan kondisi yang mendukung yang ditandai dengan reposisi pemikiaran dan peran perguruan tinggi, lembaga pemerintahan dan swasta dalam pembangunan pertanian dan desa.
5.      Meninjau kembali posisi Indonesia dalam kesepakatan internasional yang terkait dengan pangan dan pertanian yang tidak sesuai dengan  prinsip-prinsip kedaulatan pangan.
6.      Membangun jaraingan dan pengelolaan pengetahuan untuk kedaulatan pangan yang melintasi lembaga di tingkat pusat, daerah, dan lokal dengan fokus utama pada tingkat kecukupan pangan dan tingkat kecukupan gizi masyarakat. Informasi ini penting untuk mendistribusikan pangan ke daerah defisit, memberi bantuan langsung, dan membuka peluang kerja.
7.      Dari sisi penumbuhan suplai, kebijakan peningakatan produksi pangan ke depan tidak lagi bertumpu pada produksi beras, namun produksi aneka pangan dengan berorientasi mengembangkan komoditas pangan lokal. Dalam jangka pendek diperlukan insentif produksi, pemasaran dan teknologi pasca panen bagi petani. Khususnya untuk produk umbi-umbian, pangan hewani, sayuran, dan buah, serta kacang-kacangan yang tingkat konsumsinya masih rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar