Oleh
: Sulaiman
Pendahuluan
Perbincangan
demokrasi di Indonesia sampai saat ini masih menjadi isu yang menarik.Hal ini
tidak terlepas dari beberapa kondisi yang dianggap jauh dari harapan dan
substansiideal demokrasi (kedaulatan
rakyat).Beberapa diantara kondisi yang saya anggap menurunkan kualitas
demokrasi di Indonesia.
Pertama, demokrasi
kita belum mencerminkan substansi demokrasi.Ini terlihat bahwa demokrasi kita
cenderung hanya berkutat pada wilayah mekanisme-prosedural
kelembagaan.Pemilihan pemimpin mulai dari tingkat desa sampai presiden
dilakukan melalui proses-proses demokratis, yakni melalui mekanisme dan
prosedur tertentu yang melibatkan partisipasi masyarakat.Namun,
pemimpin-pemimpin kita yang terpilih melalui prosedur demokratis tersebut
justru tidak banyak yang mampu menjawab kebutuhan riil rakyatnya.
Kedua,
dalam konteks politik, penerapan demokrasi memang telah banyak memberikan hasil
positif.Setidaknya, kebebasan berpolitik yang merupakan hak semua orang telah
terbuka.Persoalannya kemudian yang muncul, demokrasi terlihat sekedar sebagai
ajang kontestasi politik terutama para elit politik.Kebebasan semua orang untuk
berpolitik justru hanya menghasilkan pertarungan kepentingan antar elit yang
tiada akhir.
Gejala
ini terlihat dari kenyataan bahwa negeri ini kian dipenuhi oleh aktor atau
kelompok-kelompok yang saling bersaing, konflik antar elit partai, konflik
antar internal partai, dan pertarungan kelompok-kelompok kepentingan
lainnya.Konflik utamanya tidak jauh dari soal perebutan posisi kekuasaan.
Proses loby-loby sampai kepada tindakan-tindakan money politic mewarnai perilaku para elit. Kondisi ini kian
menurunkan kepercayaan publik terhadap para elit yang ujung-ujungnya
menurunkan kualitas demokrasi di mata mereka.
Ketiga, demokrasi
kita masih berkutat di wilayah demokrasi politik. Dengan kata lain, demokrasi
sekedar memberikan ruang yang setara di bidang politik dengan terbukanya akses-akses
politik, kebebasan berpendapat, menyuburnya kelompok-kelompok penekan yang
kritis, dan partisipasi politik lainnya bagi semua warga.
Persoalannya
demokrasi tidak sekedar mengurusi soal kesetaraan dan kebebasan politik. Bahwa
semua orang harus memperoleh hak-hak politiknya secara sama merupakan hal yang
tidak bisa terbantahkan. Tetapi, demokrasi juga memiliki tujuan untuk
terciptanya masyarakat yang sejahtera secara ekonomi. Demokrasi harus
memberikan pemecahan masalah terhadap persoalan ketimpangan ekonomi antara
Demokrasi
(dinggap) belum mampu memberikan solusi atas ketimpangan ekonomi.Demokrasi
liberal justru, disinyalir kuat, semakin memperlebar disparitas antara yang
kaya dengan yang miskin.Karena itu tidak sedikit yang mencaci-maki demokrasi
sebagai tidak berfungsi, bahkan sebagian kalangan bukan saja ingin melakukan
perbaikan terhadap demokrasi, tetapi akibat kekecewaan mereka terhadap
demokrasi membuat mereka memberikan opsi sistem lain, misalnya kelompok seperti
HTI memperjuangkan sistem khalifah.
Memang
seperti dicatat oleh Zulfikri Suleman, demokrasi Indonesia bersumber dari
pemikiran politik barat, yakni “…bersumber dari prinsip kebebasan individu
(individualisme) yang tumbuh dan hidup subur di Negara-negara barat sejak abad
ke-17 yang lalu…”[1]Selanjutnya
dia menggambarkan beberapa kelemahan yang dikutip dari Carol C. Gould:
“pertama,
individualism menempatkan manusia sebagai mahluk asocial dan egoistis, yang
motivasi utamanya dalam bertindak hanyalah untuk kepentingan diri sendiri. Kedua,
dengan mengutamakan penumpukan kepemilikan pribadi, dan dijamin oleh Negara,
individualisme membenarkan ketimpangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat”.[2]
Takdir
Demokrasi
Meskipun
demikian, nampaknya sulit untuk memilih sistem yang lain untuk menjalankan
negeri ini. Hampir sistem-sistem yang lain seperti khilafah dan komunisme,
tidak dapat diterapkan di negeri ini. Sistem khilafah, misalnya, walaupun
pernah memiliki sejarah yang gemilang di masa Rasulullah, nampaknya sulit
diterapkan lagi untuk konteks saat ini dan di bumi Indonesia.Negeri ini plural,
terdiri dari beberapa agama.Seperti telah dipertimbangkan oleh para pendiri
negeri ini, hal seperti itu dapat mengancam integrasi negeri ini.
Komunisme,
sebagai satu sistem alternatif, pun sulit untuk diterapkan. Negeri yang penduduknya
agamis hampir seluruhnya menolak gagasan komunisme yang dianggap bertentangan
dengan nilai-nilai keagamaan.Komunisme dianggap membenarkan atheisme.Dalam
sejarah republik ini, komunisme atau PKI memiliki sejarah kelam dan
berdarah-darah. Karena itu, walaupun demokrasi merupakan sistem yang buruk,
sayangnya tidak ada sistem lain yang lebih baik daripada demokrasi, demikian
kata filsuf.
Apa
yang harus dilakukan. Pertama, tentu
berusaha untuk memperbaiki mutu demokrasi.Demokrasi tidak boleh berhenti pada
wilayah procedural melainkan harus menyentuh pada persoalan-persoalan yang
menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke.Kedua, kaum intelektual
seperti mahasiswa harus terus berjuang untuk memperbaiki demokrasi.Sebagai agen
of control, keberadaan mereka harus semaksimal mungkin memperjuangkan
idealismenya dan bersikap kritis terhadap segala persoalan yang dialami negeri
ini.Lebih jauh, mahasiswa harus memberikan solusi-solusi kreatif untuk kemajuan
negeri ini. Dua persoalan ini yang akan menjadi pembicaraan dalam tulisan ini.
Mengupayakan Demokrasi Substansial
Hatta
berpendapat, dalam bukunya Zulfikri Suleman, demokrasi sebenarnya memiliki
tujuan yang mulia, yaitu kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan sebagaimana
yang disemboyankan oleh Revolusi Prancis 1789.Dia menambahkan bahwa dalam
prosesnya yang mengalami ‘distorsi’ sehingga tidak bisa dijadikan pedoman untuk
membangun Indonesia merdeka.[3]
Selanjutnya
Hatta memberikan konsep demokrasi untuk Indonesia yang meliputi beberapa
karakteristik.Pertama, massprotest atau
adanya sikap kritis rakyat terhadap penguasa.Kedua, musyawarah mufakat dan, ketiga,
saling tolong menolong.[4]Menurutnya
dua yang pertama merupakan dasar untuk mewujudkan demokrasi politik, sedangkan
yang terakhir menjadi dasar untuk menegakkan demokrasi ekonomi.[5]
Demokrasi
ala Hatta yang menegaskan pentingnya keadilan ekonomi senafas dengan semangat sila
kelima yang berbunyi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.Persoalan ekonomi
merupakan hal yang sangat krusial.Bagi masyarakat grass root, sistem apapun tidak masalah yang terpenting dapat
memberikan kepada mereka kehidupan yang layak.Hal ini terbukti dengan sedikit
banyak orang yang merindukan kepemimpinan presiden Soeharto, meskipun tentu
saja kalangan aktifis dan pejuang demokrasi menentangnya.Hal itu tidak terlepas
dari kenyataan bahwa dia sangat memperhatikan aspek-aspek ekonomi masyarakat
terutama di kalangan bawah.
Peran Intelektual Mahasiswa
Sebagai
kelompok terpelajar, mahasiswa sudah tentu menjadi bagian penting dari
masyarakatnya.Mereka merupakan kelompok intelektual, tentu yang dimaksudkannya
– jika merujuk pada kategori Gramsci – adalah intelektual organik bukan
intelektual tradisional.[6]Intelektual
organic merupakan segelintir orang yang memiliki ilmu pengetahuan sekaligus
memiliki kepekaan sosial dan bertindak demi memperbaiki keadaan-keadaan
sosialnya.sedangkan Syed Hussen Alatas menamakan ‘intelektual’ sebagai
“…seseorang yang memusatkan diri untuk memikirkan ide dan masalah non-material
dengan menggunakan kemampuan penalarannya…”[7]
Mahasiswa
seringkali menjadi kelompok terdepan dalam mengawal demokrasi.Satu peristiwa
penting pada tahun 1998, mereka bertindak menggulingkan rezim orde baru yang
otoriter.Mereka berhadapan dengan (konsekuensi) kematian hanya untuk satu
tujuan mulia, yakni terbebasnya masyarakat dari kuasa orde baru yang kejam,
korup dan sudah tidak memikirkan kondisi rakyatnya.Sebelumnya momentum
penurunan Soekarno, mahasiswa pula yang menjadi mesin lokomotif perubahan.
Dalam
konteks sekarang, kebutuhan terhadap kaum intelektual bukan saja mengontrol dan
melawan kebijakan-kebijakan pemerintahan.Bukan hal tersebut tidak penting,
tetapi selain varian intelektual yang berhadapan dengan pemerintah, perlu juga
sosok atau kelompok-kelompok intelektual yang peka dengan persoalan di dalam
masyarakat, mampu mengenali kebutuhan-kebutuhan mereka dan kemudian membantu
mereka.
Di
tengah-tengah kondisi seperti saat ini – gejala separatisme, konflik antar
kelompok pelajar, sekte dan persoalan-persoalan lain yang berpotensi mengarah
pada disintegrasi – mahasiswa harus bertindak dengan menanamkan nilai-nilai
positif di dalam masyarakat.Mereka harus memperkenalkan prinsip dan ideal-ideal demokrasi, yakni pentingnya
merawat persaudaraan, pentingnya dialog (musyawarah) dalam setiap persoalan
dengan mengedepankan sikap ‘sabar’, dan semacamnya.
Dengan
demikian demokrasi tidak sekedar alat atau prosedur kelembagaan, tetapi juga
merupakan nilai-nilai substansial yang perlu ditanamkan kepada masyarakat
sehingga menjadi bagian dari budaya Indonesia.Penguatan nilai-nilai cultural
seperti ini – walaupun berlangsung lama – sangat penting karena hal ini
menyentuh bagian yang mendasar di dalam masyarakat.
Ciputat, 23 April 2013
Daftar Pustaka
Zulfikri Suleman,
Demokrasi Untuk Indonesia, Pemikiran
Politik Bung Hatta (Jakarta: Kompas). 2010.
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, (Yogyakarta:
Insist). 1999.
Syed Hussein
Alatas, Intelektual Masyarakat
Berkembang, (Jakarta: LP3ES). 1988.
[1]
Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk
Indonesia, (Jakarta: Kompas), 2010, h. 3
[2]
Ibid, h. 3
[3]
Ibid, h. 7
[4]
Ibid, h. 18
[5]
Ibid, h. 18
[6]
Mengenai pembahasan ini, lihat Roger Simon, Gagasan-Gagasan
Politik Gramsci, (Yogyakarta: Insist, 1999), h. 139 - 152
[7]
Syed Hussein Alatas, Intelektual
Masyarakat Berkembang, (Jakarta: LP3ES), 1988, h. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar